“Kamu sendiri mengatakan bahwa Aku lah Anak Allah”
(Lukas 14:70; 66-71)
Aku bukan siapa-siapa. Namaku bahkan tidak penting bagi siapa-siapa. Namaku selalu disebutkan sejalan dengan tugasku. Aku, sekali pun namaku tidak disebut, orang sudah tahu., karena aku adalah aku yang selalu mengerjakan kepentingan majikanku. Itu saja, karena ada banyak hal yang tidak penting mengenai aku. Yang paling penting bagiku ialah begini, “aku ada di lingkungan orang besar” karena itu, pekerjaanku, peranku, dan namaku menjadi penting, tetapi, aku tetap aku yang selalu identik dengan pekerjaanku.
Hari ini ada tugas istimewa, karena di tempat aku berkarya ada “tamu penting”, tetapi yang mengherankan ialah, aku tidak ditugasi untuk melayani tamu penting dimaksud seperti biasanya. Tidak ada air pembasuhan yang disediakan baginya untuk membasuh muka dan kaki-tangan, tidak ada handuk kering yang disediakan seperti biasanya bagi tamu terhormat itu sebagai tanda kehormatan.
Tetapi aku tahu orang itu! Betapa tidak? Aku mendengar dari banyak sumber tentang kehebatan-Nya. Ia lebih hebat dari para tabib yang terkenal di negeri ini, karena Ia menyembuhkan berbagai macam penyakit dengan sekali bersabda! Kabarnya, Ia pun memberi makan kepada beribu-ribu orang, membangkitkan orang mati, dan banyak lagi pekerjaan ajaib yang dikerjakan-Nya, karena itu nama-Nya sudah sangat tersohor dikalangan banyak orang.
Bahkan barusan minggu lalu, Ia menimbulkan kehebohan besar. Ia masuk ke Kota Suci dengan mengendarai “anak keledai” yang menandakan bahwa Ia adalah Raja. Orang orang disepanjang jalan berseru, hosanna …., hosanna …., bagi Anak Daud. Jalan-jalan menjadi macet dengan kehadiran-Nya. Banyak orang yang datang dari berbagai penjuru menjelang hari Raya Besar tahun ini, terhenyak dan terkagum-kagum akan apa yang sedang terjadi. Ia menuju ke Bait Suci di mana orang biasanya beribadah. Di situ Ia membersihkannya dengan menghalau para pedagang kaki lima dan para penukar uang, sebagai lambang penyucian dan penyataan kesucian dari Sesembahan-Nya. Alasan-Nya yang paling kuat untuk mengerjakan tugas mulia itu adalah seperti yang dikatakan-Nya sendiri., “ini rumah Bapa-Ku, jangan kamu menjadikannya seperti sarang penyamun!” Sementara banyak orang kebingungan dan hiruk pikuk, Ia berseru dengan suara lantang, “kalau kamu mau, runtuhkanlah Tempat Suci ini, dan Aku akan membangunkannya dalam tiga hari.” Seluruh rakyat terpikat kepada-Nya, dan ingin mendengarkan tentang DIA (Lukas 19:48b). Kondisi saat itu sangat genting menjelang Hari Raya Besar, dan Para Pemimpin Pemerintahan mau pun Agama menjadi ketakutan, kalau-kalau akan ada “revolusi rakyat” oleh karena tindakan serta ajaran-Nya, dan negara menjadi kacau., dan yang penting, bisnis mereka terganggu. Kalau begitu, biangnya harus dibasmi.
Aku sendiri tidak mengerti tentang semua yang sedang terjadi itu, namun yang terpenting ialah bahwa “Orang Penting” itu sekarang ada di rumah majikanku. Tetapi, aku terus bertanya, “bila “Orang Besar” itu tidak diperlakukan sebagai “tamu penting,” maka ada apa gerangan? Aku coba-coba mencuri berita, pasang telinga! Apa yang terjadi membuatku terperangah! Tangan-Nya dibelenggu, aku, bahkan aku mendengar kata-kata dari bicara kasar yang bernada tuduhan, “Apakah Engkau adalah Mesias, Anak dari Yang Terpuji?” Pertanyaan itu sudah santer di kalangan umum, karena dari banyak kalangan aku dengar bahwa banyak orang sedang mengharapkan kedatangan Mesias, yaitu Juruselamat. Dan berita ini membahayakan posisi para pemimpin saat itu. Selanjutnya, aku bahkan tidak percaya, akan apa yang aku lihat, sesuatu yang ironis terjadi! “Orang Besar” itu ditampar, Ia diejek, dan ludahi di depan banyak orang! Hatiku sedih bercampur gundah, aku bertanya dalam hatiku, “Mengapa Orang Besar ini dihina sedahyat itu? Aku harus tahu jawabannya! Tetapi, yang paling berbahaya ialah kehadiranku ditempat penting ini. Aku harus segera minggat, kalau tidak, bila kedapatan, aku bakalan digampar, dipecat.
Aku terus memutar otak, dari siapa aku dapat memperoleh jawaban atas keanehan yang aku saksikan ini? Mengapa “Orang Besar” yang aku tahu adalah “Orang Benar” itu diperlakukan dengan semena-mena? Aku terus menyelinap ke luar. Apakah di halaman di bawah sana aku dapat memperoleh jawabannya tentang apa yang aku ingin tahu dari seseorang? Aku membinarkan mataku memandang sekeliling. Aku sudah terbiasa menyaksikan kehadiran banyak orang di tempat majikanku, di pasar, dan di tempat di mana aku menyertai “nyona besar-ku”.
Aku tatap orang-orang di halaman itu satu-satu. Mataku tertumbuk kepada seseorang. Badannya kekar, tinggi, besar dan wajahnya brewokan. Dugaan kuatku ialah bahwa ia tentu tidak berasal dari daerah sekitar sini. Sangat mungkin ia berasal dari daerah sekeliling danau terkenal di sebelah utara itu. Aku bahkan bisa menduga apa saja pekerjaannya, karena aku pernah melihatnya, minggu lalu kalau tidak salah.
Tetapi yang paling penting ialah bahwa aku bisa memperoleh jawaban dari orang ini. Aku bisa membayangkan tentang orang ini tatkala aku melihat ia tampil gagah mendampingi Orang Besar di dalam sana itu. Aku masih ingat, saat Orang Besar itu memasuki Kota Suci menunggang keledai dan terjadi kemacetan besar di jalan-jalan, orang laki-laki kekar ini tampil perkasa sebagai layaknya kepala “body guard” sambil menghalau kerumunan orang yang menghalang jalan bagi Tuan-nya. Hebat nian laki-laki ini!
Aku terhenyak, dari lamunanku! Aha, aku kira aku bisa memperoleh jawaban tentang Beliau di dalam itu dari pada laki-laki ini. Laki-laki kekar itu berangsut pindah mendekat ke api unggun untuk berdiang, maklum hari semakin larut dan dingin pula. Bagaimana mendekati dia? Aku pura-pura membenahi api unggun itu di mana ia berdiang. Aku dekati laki-laki itu, kutatap wajahnya yang sangar dan memberanikan diriku untuk membuka percakapan. “Om, aku lihat engkau biasa selalu bersama-sama dengan “Orang Penting” (dari Nazaret) itu! Aku pasti tidak salah kenal, Om selalu terlihat bersama-sama dengan Dia, khususnya minggu yang baru berselang, aku menyeletuk penuh keyakinan. Dan, aku menunggu! Tahukah Anda, apa jawabannya? Jawabannya bagi telingaku bagaikan sambaran petir di siang bolong yang menggelegar. “Aku tidak tahu dan tidak mengerti apa yang engkau maksud.” Haa? Inikah jawabnya? Aku pikir aku salah dengar. Aku bertanya sendiri dalam hatiku, inikah jawabannya? Mengapa ia sudi menjawab seperti itu? Hatiku terguncang, aku kecewa. Aku pikir orang ini akan seberani penampilannya di jalan itu sewaktu mendampingi Orang Besar itu. Ternyata ia cuma ayam sayur, berjiwa krupuk, tidak teguh, pengecut! Aku terus penasaran, aku berpikir, “apakah laki-laki ini tidak sadar dan tidak mengerti bahwa hubungan dekatnya dengan Orang Besar itu adalah hak istimewa dan kepercayaan istimewa?” Aku bahkan iri padanya, karena hubungannya dengan Orang Besar itu.
Tetapi, mengapa ia tidak berani teguh mempertahankan identitas hubunganya dengan orang besar itu? Apa yang salah padanya? Tidak ada jawaban. Selanjutnya aku mulai mengkritik dia dalam hati ku. Aku berbicara sendiri, “macam apa orang ini?” Dia ini orang rendah, orang tidak punya prinsip, orang plin-plan, orang yang tidak tahu diri, orang hina! Aku semakin penasaran, aku menguntit dia terus walau pun ia berusaha menjauhi aku. Ia berupaya menghindar dengan “pergi ke serambi muka” dekat dengan tempat Orang Besar itu diinterogasi. Dia pikir sudah aman di situ. Aku terus mendekati dia, dan kupikir, hah, ini saat yang tepat untuk mendesak dia. Aku menarik perhatian banyak orang di tempat itu dengan menyaringkan suaraku. Hei, dengar, “orang ini adalah salah seorang dari mereka.” Ia berupaya keras untuk menyangkal lagi. Tetapi, orang-orang yang berada di tempat itu mulai memihak kepadaku. Mereka berkata, “Engkau ini pasti salah seorang dari mereka, apalagi engkau orang yang berasal dari danau besar itu!” Kemudian, aku menyaksikan pancaran kengerian pada wajah laki-laki itu! Bahkan aku mendengar kata-kata yang seharusnya tidak diucapkan oleh orang seperti dia itu. Ia berani menipu, mungkin karena ketahutan, ia mulai menyangkal bahwa ia adalah salah seorang dari pengikut Orang Besar yang mulia itu. Ia membela diri dengan mengutuk dan bersumpah. Coba anda bayangkan apa yang dikatakannya, “Aku tidak mengenal orang yang kau sebut-sebut ini.” Hatiku semakin galau, aku mulai menghakimi laki-laki itu dengan sengit dalam hatiku. Ini orang yang tidak tahu diri, orang yang tidak kenal diri, orang yang tidak menghargai hubungan dengan orang lain, orang yang takabur, orang yang bobrok imannya!
Aku kemudian terhenyak sendiri, orang macam apa aku ini? Jangan-jangan aku mulai linglung sendiri, sok mengkritik orang lain! Bagaimana kalau aku sendiri dikritik? Tetapi aku kemudian berkesimpulan, “ah, biasa, dasar manusia, semuanya sia-sia!” Hei, jangan-jangan aku sendiri yang ngantuk dan terdorong karena penasaran saja karena ingin tahu berita tentang Orang Besar dari laki-laki konyol itu, dan ternyata ia tidak teguh bersaksi tentang hubungan istimewanya dengan DIA, Orang Besar itu. Kasihan!!! Aku kemudian tersentak dari lamunanku, karena kudengar ayam berkokok untuk kedua kali. Ini tentu sudah larut, hari menjelang pagi. Tetapi aku kemudian terpana dan terhenyak, tatkala kulihat suatu adengan penuh kuasa, tatkala kusaksikan sorotan mata suci dari Orang Besar itu, yang menoleh dan memandang kepada laki-laki itu. Mata suci Orang Besar itu begitu tajam menusuk sampai ke batin laki-laki itu. Kusaksikan keguncangan jiwa yang hebat, terpancar pada wajahnya oleh tatapan Mata Suci itu. Ia luluh dibawah tatapan Mata Suci itu, ia hancur dan berangsut pergi ke dalam keremangan pagi. Kukuntit dia lagi, aku ingin mengetahui apa yang terjadi padanya. “Ia menangis terseduh sedan.” Ia rupanya menyesal karena telah menyangkal “Junjungan-nya yang mulia itu.”
Menyaksikan adengan itu, aku mulai berubah pikiran. Kusimpulkan sendiri bahwa laki-laki itu pasti ada hubungan dekat dan intim dengan Orang Besar itu. Ia sekarang menyadari kesalahannya, ia bertobat. Rasanya ia mulai bangkit dari kekerdilan jiwanya, keluar dari kekecilan hatinya. Sepertinya ia mulai siap untuk mempertahankan kesaksianya, bahwa ia dekat dengan Orang Besar Yang Benar itu, orang yang dinista walau pun tidak berdosa, orang yang dihina dan direndahkan dengan semena-mena. Namun, dengan satu tatapan suci Ia membaharui hidup laki-laki yang porak poranda itu! Luar biasa!
Kini aku bertanya kepada diri sendiri, apa yang dapat kupelajari dari pengalaman suci di pagi yang remang ini? Paling tidak ada dua hal yang dapat kupelajari dari pengalaman enkonter dengan DIA, yaitu: Pertama, Hubungan dengan Orang Besar itu adalah hak istimewa, yang merupakan dasar kuasa untuk bertahan menghadapi tekanan, ancaman bahkan godaan dalam hidup. Kedua, hubungan dengan Orang Besar itu merupakan anugerah khusus untuk mengalami pembaruan yang membawa pertobatan sejati, mengalami revitalisasi untuk bangkit, teguh dan menjadi saksi-Nya. Salam Paskah.
By : Pdt. Yakob Tomatala
Maria kecil yang berusia sepuluh tahun tinggal do sebuah desa pinggiran kota di Chili tengah. Ketika ibunya menginggal, Maria menjadi ibu rumah tangga, merawat ayahnya yang bkerja giliran malam di sebuah pertambangan lokal. Maria memasak, membersihkan rumah, dan memastikan bahwa makanan ayahnya sudah siap saat ia meninggalkan rumah untuk bekerja setiap malam.
Maria mengasihi ayahnya dan khawatir melihat betapa ia menjadi begitu sedih sejak kematian ibunya. Maria pergi ke gereja setiap m,inggu dan merusaha mengajak ayahnya untuk pergi bersamanya, tetapi ia menolak. Hatinya terlalu kosong.
Suatu malam, sementara Maria menyiapkan makanan untuk ayahnya, ia menyelipkan sebuah Injil kecil ke kotak makanannya. Ia mendapat Injil kecil itu dari seorang pekerja misionari yang membagikannya dari rumah ke rumah di daerah mereka. Maria berdoa agar ayahnya membacanya dan memperoleh penghiburan seperti yang telah Maria temukan dalam kasih Allah yang besar.
Pada pukul 01.10 pagi Maria tiba-tiba terbangun karena suara yang mengerikan, peluit darurat di pertambangan itu meraung dalam kegelapan, memanggil para penduduk kota untuk segera datang dengan cangkul dan tangan yang siap untuk membantu menggali para penambang yang terjebak di gua bawah tanah.
Maria berlari ke tambang untuk mencari ayahnya. Beberapa orang dengan panik menggali reruntuhan terowongan yang ambruk dan mengurung delapan orang. Salah satunya adalah ayah Maria.
Para petugas darurat bekerja sepanjang malam dan akhirnya berhasil menembus sebuah gua kecil dimana mereka menemukan para penambang itu. Sungguh sayang, mereka sudah terlambat. Ke delapan pria itu telah meninggal karena tidak bisa bernafas.
Para petugas penyelamat itu sangat menyesal, tetapi saat mereka mengamati keadaan, mereka melihat bahwa para penambang itu meninggal dalam posisi duduk membentuk lingkaran. Saat para petugas melihat lebih dekat, mereka menemukan bahwa ayah Maria duduk dengan sebuah Injil kecil di pangkuannya yang terbuka pada halamam terakhir di mana rencana keselamatan dijelaskan secara gamblang. Pada halaman itu, ayah Maria menuliskan sebuah pesan khusus untuk putrinya:
"Maria yang terkasih, saat kau baca pesan ini, Ayah sudah berada bersama ibumu di surga. Ayah membaca buku kecil ini, kemudian membacakannya beberapa kali kepada orang-orang ini sementara kami menunggu diselamatkan. Harapan kami akan hidup ini memudar, tetapi tidak demikian dengan hidup yang akan datang. Kami melakukan apa yang diajarkan dalam buku ini dan berdoa, meminta Yesus masuk ke dalam hati kami. Ayah sangat menyayangimu, Maria, dan suatu hari kelak, kita semua akan bersama-sama di surga.
Dick eastman, Buku "Heart for a friend"
Ini adalah cerita seorang ibu yg akan menyelesaikan skripsinya. This is really a good story....
Saya adalah ibu tiga orang anak (umur 14, 12, dan 3 tahun) dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya. Tugas terakhir yang diberikannya diberi nama "Tersenyum". Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan tersenyum kepada tiga orang dan mendokumentasikan reaksi mereka. Saya adalah seorang yang mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang dan mengatakan "hello", jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah.
Segera setelah kami menerima tugas tsb, suami saya, anak bungsu saya, dan saya pergi ke restoran pada suatu pagi di bulan Maret yang sangat dingin dan kering. Ini adalah salah satu cara kami dalam antrian, menunggu untuk dilayani, ketika mendadak setiap orang di sekitar kami mulai menyingkir, dan bahkan kemudian suami saya ikut menyingkir. Saya tidak bergerak sama sekali... suatu perasaan panik menguasai diri saya ketika saya berbalik untuk melihat mengapa mereka semua menyingkir.
Ketika berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang sangat menyengat, dan berdiri di belakang saya dua orang lelaki tunawisma. Ketika saya menunduk melihat laki-laki yang lebih pendek, yang dekat dengan saya, ia sedang "tersenyum".
Matanya yang biru langit indah penuh dengan cahaya Tuhan ketika ia minta untuk dapat diterima. Ia berkata "Good day" sambil menghitung beberapa koin yang telah ia kumpulkan. Lelaki yang kedua memainkan tangannya dengan gerakan aneh sambil berdiri di belakang temannya.
Saya menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental dan lelaki dengan mata biru itu adalah penolongnya. Saya menahan haru ketika berdiri di sana bersama mereka.
Wanita muda di counter menanyai lelaki itu apa yang mereka inginkan. Ia berkata, "Kopi saja, Nona" karena hanya itulah yang mampu mereka beli. (Jika mereka ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh mereka, mereka harus membeli sesuatu. Ia hanya ingin menghangatkan badan). Kemudian saya benar-benar merasakannya - desakan itu sedemikian kuat sehingga saya hampir saja merengkuh dan memeluk lelaki kecil bermata biru itu. Hal itu terjadi bersamaan dengan ketika saya menyadari bahwa semua mata di restoran menatap saya, menilai semua tindakan saya.
Saya tersenyum dan berkata pada wanita di belakang counter untuk memberikan saya dua paket makan pagi lagi dalam nampan terpisah. Kemudian saya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu sebagai tempat istirahatnya. Saya meletakkan nampan itu ke atas meja dan meletakkan tangan saya di atas tangan dingin lelaki bemata biru itu.
Ia melihat ke arah saya, dengan air mata berlinang, dan berkata "Terima kasih." Saya meluruskan badan dan mulai menepuk tangannya dan berkata, "Saya tidak melakukannya untukmu. Tuhan berada di sini bekerja melalui diriku untuk memberimu harapan."
Saya mulai menangis ketika saya berjalan meninggalkannya dan bergabung dengan suami dan anak saya. Ketika saya duduk suami saya tersenyum kepada saya dan berkata, "Itulah sebabnya mengapa Tuhan memberikan kamu kepadaku, Sayang. Untuk memberiku harapan." Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan pada saat itu kami tahu bahwa hanya karena Kasih Tuhan kami diberikan apa yang dapat kami berikan untuk orang lain.
Hari itu menunjukkan kepadaku cahaya kasih Tuhan yang murni dan indah. Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah, dengan cerita ini ditangan saya. Saya menyerahkan "proyek" saya dan dosen saya membacanya. Kemudian ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkan saya membagikan ceritamu kepada yang lain?" Saya mengangguk pelahan dan ia kemudian meminta perhatian dari kelas. Ia mulai membaca dan saat itu saya tahu bahwa kami, sebagai manusia dan bagian dari Tuhan, membagikan pengalaman ini untuk menyembuhkan dan untuk disembuhkan..
Dengan caraNya sendiri, Tuhan memakai saya untuk menyentuh orang-orang yg ada restoran tersebut, suamiku, anakku, guruku, dan setiap jiwa yang menghadiri ruang kelas di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan satu pelajaran terbesar yang pernah saya pelajari: PENERIMAAN YANG TAK BERSYARAT.
Banyak cinta dan kasih sayang yang dikirimkan kepada setiap orang yang mungkin membaca cerita ini dan mempelajari bagaimana untuk MENCINTAI SESAMA DAN MEMANFAATKAN BENDA-BENDA BUKANNYA MENCINTAI BENDA DAN MEMANFAATKAN SESAMA.
Ibuku selalu bertanya padaku, apa bagian tubuh yang paling penting.
Bertahun-tahun, aku selalu menebak dengan jawaban yang aku anggap benar. Ketika aku muda, aku pikir suara adalah yang paling penting bagi kita sebagai manusia, jadi aku jawab, "Telinga, Bu." Tapi, ternyata itu bukan jawabannya.
"Bukan itu, Nak. Banyak orang yang tuli. Tapi, teruslah memikirkannya dan aku menanyakan lagi nanti."
Beberapa tahun kemudian, aku mencoba menjawab, sebelum dia bertanya padaku lagi. Sejak jawaban pertama, kini aku yakin jawaban kali ini pasti benar. Jadi, kali ini aku memberitahukannya. "Bu, penglihatan sangat penting bagi semua orang, jadi pastilah mata kita."
Dia memandangku dan berkata, "Kamu belajar dengan cepat, tapi jawabanmu masih salah karena banyak orang yang buta."
Gagal lagi, aku meneruskan usahaku mencari jawaban baru dan dari tahun ke tahun Ibu terus bertanya padaku beberapa kali dan jawaban dia selalu, "Bukan. Tapi, kamu makin pandai dari tahun ke tahun, Anakku."
Akhirnya tahun lalu, kakekku meninggal. Semua keluarga sedih. Semua menangis. Bahkan, ayahku menangis. Aku sangat ingat itu karena itulah saat kedua kalinya aku melihatnya menangis. Ibuku memandangku ketika tiba giliranku untuk mengucapkan selamat tinggal pada kakek.
Dia bertanya padaku, "Apakah kamu sudah tahu apa bagian tubuh yang paling penting, sayang?"
Aku terkejut ketika Ibu bertanya pada saat seperti ini. Aku sering berpikir, ini hanyalah permainan antara Ibu dan aku. Ibu melihat kebingungan di wajahku dan memberitahuku, "Pertanyaan ini penting. Ini akan menunjukkan padamu apakah kamu sudah benar-benar "hidup".
Untuk semua bagian tubuh yang kamu beritahu padaku dulu, aku selalu berkata kamu salah dan aku telah memberitahukan kamu kenapa. Tapi, hari ini adalah hari di mana kamu harus mendapat pelajaran yang sangat penting." Dia memandangku dengan wajah keibuan. Aku melihat matanya penuh dengan air. Dia berkata, "Sayangku, bagian tubuh yang paling penting adalah bahumu."
Aku bertanya, "Apakah karena fungsinya untuk menahan kepala?"
Ibu membalas, "Bukan, tapi karena bahu dapat menahan kepala seorang teman atau orang yang kamu sayangi ketika mereka menangis. Kadang-kadang dalam hidup ini, semua orang perlu bahu untuk menangis. Aku cuma berharap, kamu punya cukup kasih sayang dan teman-teman agar kamu selalu punya bahu untuk menangis kapan pun kamu membutuhkannya."
Akhirnya, aku tahu.
Bagian tubuh yang paling penting adalah tidak menjadi orang yang mementingkan diri sendiri.
Tapi, simpati terhadap penderitaan yang dialami oleh orang lain.
Tapi, simpati terhadap penderitaan yang dialami oleh orang lain.
Orang akan melupakan apa yang kamu katakan.
Orang akan melupakan apa yang kamu lakukan.
Tapi, orang TIDAK akan pernah lupa bagaimana kamu membuat mereka berarti.