Praktik
Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
“Skandal Panama Paper”dan Hingar Bingar Pengampunan Pajak “Tax Amnesty” di Indonesia
bersama bang Marnaek Tambunan
1. Pendahuluan
Beberapa waktu lalu
public dikejutkan oleh berita mengenai kebocoran dokumen finansial dari sebuah
firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca. Data Panama Papers sebesar 2,6
terabita, yang berisi informasi sejak 1977 sampai awal 2015, tersebut berhasil
diungkap ke publik. Dari data tersebut dapat diintip dunia offshore atau
dunia tanpa pajak bekerja. Dalam jutaan lembar dokumen itu, tergambar
dengan detail sejumlah perjanjian bisnis yang melibatkan perusahaan offshore yang
dilakukan sejumlah tokoh kenamaan di dunia, termasuk para pengusaha dan pejabat
Indonesia.
Panama Papers menyimpan
data surat elektronik, tabel keuangan, paspor, dan
catatan pendirian perusahaan, yang mengungkapkan identitas rahasia dari pemilik
akun bank dan perusahaan di 21 wilayah atau yurisdiksi offshore.
Di dalam data itu, tersimpan pula kerahasiaan hasil kejahatan, seperti harta
hasil curian, korupsi, atau pencucian uang. Setidaknya ada 128 politikus dan
pejabat publik dari seluruh dunia yang namanya tercantum dalam jutaan dokumen
yang bocor ini[1].
Isu mengenai
penghidaran pajak dengan memanfaatkan celah hukum (tax avoidance) pada umumnya bukan isu yang baru. Telah terjadi
berbagai jenis motif penghindaran pajak, terutama ketika teknologi semakin
berkembang pesat dan transaksi antar negara semakin berkembang. Kemunculan
panama paper sepertinya cukup mampu menarik perhatian public ketika wakil-wakil
rakyat tengah berdiskusi mengenai pengesahan RUU Pengampunan Nasional (tax
amnesty).
RUU Pengampunan Pajak Nasional yang sarat dengan tarik
menarik kepentingan dicitrakan kepada public sebagai bentuk dari pengamanan
penerimaan negara dalam jangka panjang. Hal ini didasarkan kepada pemikiran
bahwa selain potensi repatriasi dana dari luar negeri, pelaksanaan tax amnesty, pemerintah akan memperoleh
data tambahan mengenai wajib pajak. Tax
amnesty disebut oleh Gubernur BI Agus DW Martowardojo bahwa penerapan
kebijakan tax amnesty ini diperkirakan bakal memberikan efek positif bagi
perekonomian domestik. Penerapan tax amnesty dapat menjadi pembiayaan
alternatif dalam pembangunan nasional[2].
Kedua isu perlu
didudukkan dan dibahas dengan jujur yang berlandaskan kepada konsep perpajakan
yang sahih dan relevan. Artikel ini akan memberikan gambaran mengenai
masing-masing isu dan pertalian keduanya dalam konteks konsep dan teori
perpajakan.
2. Landasan Teoritis Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
Penghindaran pajak adalah
upaya wajib pajak memanfaatkan celah hukum dengan tujuan efesiensi beban pajak.
Celah hukum yang dimanfaatkan wajib pajak dapat terjadi akibat ketiadaan aturan
yang jelas mengenai suatu skema atau transaksi. Suatu tindakan Wajib Pajak
dapat dikatakan sebagai penghindaran pajak bila motif dari suatu transaksi atau
skema yang dibuat Wajib Pajak tidak memiliki substansi bisnis atau alasan personal
(Rachel Anne Tooma,2008, 12-13).
Penghindaran pajak saat
ini menjadi perhatian utama hampir seluruh negara. Praktik penghindaran pajak
terutama banyak dilakukan dalam transaksi bisnis lintas negara yang dilakukan
oleh antar perusahaan yang
memiliki hubungan istimewa. Praktik penghindaran pajak umumnya
dilakukan dengan memanfaatkan
disparitas. Praktik penghindaran pajak dirancang sedemikian rupa agar tidak
melanggar ketentuan pajak secara hukum, namun melanggar substansi ekonomi dari
suatu kegiatan bisnis. Praktik penghindaran pajak dilakukan dalam suatu
perencanaan pajak yang dapat dilakukan dalam beberapa bentuk: (Darussalam,
2010):
a.
Substantive
tax planning yang terdiri dari;
i.
memindahkan subyek pajak ke negara yang
dikategorikan sebagai negara yang memberikan perlakuan khusus atas suatu jenis
penghasilan,
ii.
memindahkan obyek pajak ke negara yang
dikategorikan sebagai negara yang memberikan perlakukan pajak khusus atas suatu
jenis penghasilan,
iii.
memindahkan subyek pajak dan obyek pajak
ke negara yang dikategorikan memberikan perlakuan
khusus atas suatu jenis penghasilan.
b.
Formal
tax planning, melakukan penghindaran pajak dengan
cara tetap mempertahankan substansi ekonomi dari suatu transaksi dengan cara
memilih berbagai bentuk formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak
lebih rendah.
Penghindaran pajak berbeda
dengan penggelapan pajak (tax evasion).Penghindaran
pajak dilakukan dengan tidak melanggar hukum yang berlaku. Penghindaran pajak
hanya memanfaatkan kelemahan dari aturan yang berlaku, seperti ketiadaan aturan
atas suatu transaksi atau skema sehingga Wajib Pajak tidak dapat dikatakan
melanggar hukum. Berbeda dengan
penghindaran pajak, penggelapan pajak merupakan upaya yang dilakukan oleh Wajib
Pajak dengan melanggar aturan pajak yang berlaku, seperti melaporkan
penghasilan yang tidak sesuai dengan fakta. Upaya
pemberantasan penggelapan pajak dilakukan dengan pemeriksaan pajak (Rachel Anne Tooma, 2008 12-13).
Secara garis besar tax avoidance dilakukan dalam 3 hal,
yakni (i) menunda penghasilan, (ii) tax
arbitrage dengan memanfaatkan perbedaan tarif yang umumnya terkait dengan
wajib pajak orang pribadi dan (iii) tax
arbitrage untuk memanfaatkan perlakuan pajak yang berbeda (tax avoidance, evasion and administration,2008, 1443). Penundaan penghasilan dilakukan
dengan tujuan untuk menunda pembayaran pajak, seperti penundaan pembagian
dividen dari anak perusahaan di luar negeri kepada pemegang saham. Bentuk lain
penghindaran pajak adalah memanfaatkan perbedaan tarif. Pada umumnya perbedaan
tarif ini terkait dengan pajak progresif yang dikenakan atas penghasilan Wajib
Pajak Orang Pribadi. Penghindaraan
pajak dengan memanfaatkan perlakuan pajak yang berbeda dapat terjadi bila
perbedaan perlakuan tersebut dapat mengakibatkan kewajiban pajakyang berbeda,
seperti perbedaan perlakuan pajak berdasarkan net income dan omset usaha (presumptive
tax).
Dalam konteks
perpajakan internasional, terdapat berbagai skema yang biasa dipakai oleh
perusahaan multi nasional untuk melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema:
a. Transfer pricing
b. Thin capitalization
c. Treaty shopping
d. Controlled foreign corporation
(CFC)
Menurut OECD tax haven adalah jurisdiksi yang secara aktif membuatnya
dapat menghindarkan pajak dari negara-negara yang pajaknya lebih tinggi.
Istilah tax avoidance diakui, sebab ada banyak cara
menghindari pajak tanpa melanggar hukum. Ada beberapa faktor yang dapat
dipergunakan untuk mengidentifikasi tax haven, yaitu:
1.
Tidak ada pungutan pajak atau pungutan pajak dengan tarif
yang relatif sangat kecil.
Pada umumnya negara berupaya menggali potensi penerimaan yang berasal dari
sektor perpajakan.Namun di negara tax haven entitas, trust maupun perorangan diberikandiberikan fasilitas tidak dipungut pajak atau pemungutan pajak dengan tarif yang sangat kecil.
2.
Minimnya ketersediaan mekanisme pertukaran informasi.
Mekanisme pertukaran data secara otomatis seperti
ini yang tidak dapat ditemukan di negara berkembang manapun, khususnya dalam
kaitannya dengan kekayaan yang disimpan di satu negara oleh warga dari negara
lain. Tax haven biasanya malah menolak untuk berpartisipasi dalam
kegiatan pertukaran informasi seperti ini.
3.
Kurangnya transparansi di negara tax haven, hal
tersebut diindikasikan dengan beberapa peristiwa sebagai berikut (i) Rahasia perbankan sangat ketat karenatidak satu bank pun diizinkan untuk memberitahukan kegiatan bisnisnya. Setiap pelanggaran akan dikenakan sanksi yang berat (ii) Adanya kelonggaran ketentuan dimana perusahaan dapat menjalankan kegiatannya tanpa perlu mendaftarkannya ke pihak
berwenang, mempublikasikan nama pendiri (settler) dan beneficiaries-nya. Jadi berbagai kegiatan ekonomi di tax haven sulit
untuk dideteksi untuk untuk mengetahui siapa dan sedang melakukan apa.
4.
Tidak ada kegiatan usaha yang signifikan. Hal ini ditandai dengan tidak adanya aktifitas usaha riil di tax haven. Meskipun di dalam dokumen-dokumen perbankan atau perusahaan
tercatat terdapat kegiatan usaha, secara substansial kegiatan usaha tersebut dilaksanakan di tempat lain.
Beberapa kegiatan yang dilakukan
untuk meminimalisasi beban pajak melalui tax haven termasuk:
- Transfer pricing yang dimanfaatkan dalam membeli barang dengan harga murah (under pricing) dan menjual kembali dengan harga tinggi (over pricing) sehingga laba dari negara produsen dan konsumen di gerus ke tax haven. Badan yang didirikan di tax haven tersebut sepertinya berfungsi sebagai ”brase Plate” company.
- Captive insurance companies didirikan di tax haven sebagai perusahaan asuransi atau reasuransi seluruh anggota grup dengan premi yang dibayar sebagai pengurang penghasilan perusahaan grup dari penghasilan.
- Captive banking dengan memanfaatkan kemudahan dari fasilitas yang kondusif untuk pusat keuangan maka banyak cabang atau anak perusahaan industri perbankan yang dioperasikan di tax haven.
- Pelayaran dengan bendera tax havens. Banyak negara yang menyediakan bendera pelayaran (flag of convience) demikian seperti Singapura, Hongkong, Malaysia, Liberia, Cyprus, Nederland, Panama, dan Vanuatu. Mereka membentuk perusahaan di negara dimaksud dan kepemilikan kapal diserahkan ke perusahaan tersebut.
- Back to back loan dan pararellel loan untuk menghindarkan ketentuan penangkalan minimalisasi capital (thin capitalization). Meminimalisasi potongan pajak atas bunga dan rekarakterisasi utang sebagai modal dapat dilakukan melalui rekayasa back to back loan demikian, dengan rekayasa seperti mendepositkan uang ke captive bank di tax haven dan bank tersebut meneruskan dana tersebut ke perusahaan lain anggota grup dalam bentuk pinjaman.
- Holding companies. Secara meluas dimanfaatkan untuk melakukan investasi di negara berkembang. Praktik yang dilakukan ialah mendirikan dan mendanai perusahaan di tax havens kemudian perusahaan holding tersebut menanam modal keperusahaan di negara berkembang. Rekayasa lain ialah dengan mendirikan perusahaan induk di negara maju dengan perusahaan anak di negara berkembang. Perusahaan holding demikian sering disebut ”money box” companies.
- Perusahaan lisensi. Rekayasa minimalisasi pemajakan atas royalti dapat dilakukan dengan mendirikan perusahaan di tax havens yang mengelola harta tidak berwujud (patents, copyrights, trademarks, formulas dan resep lainnya) yang sebetulnya merupakan milik perusahaan di negara lain.
3. Landasan Teoritis Konsep Tax Amnesty
Penerapan tax amnesty semakin berkembang dan
sering diterapkan selama beberapa dekade terakhir sehingga literatur perpajakan
yang membahas konsep inipun semakin berkembang. Pada mulanya literatur yang
membahas mengenai tax amnesty
menitikberatkan mengenai respon wajib pajak terhadap kebijakan tersebut, efek
penerimaan negara dengan adanya kebijakan ini dan efek jangka panjang dari tax amnesty terhadap kepatuhan
pembayaran pajak. Namun, sayangnya hanya sedikit studi yang membahas mengenai
perbedaan outcomes dari kebijakan tax amnesty di negara maju dan negara
berkembang dimana hal tersebut berhubungan dengan ketentuan yang diterapkan
sebagai perangkat tax amnesty dan
kultur hukum pajak dari masing-masing jurisdiksi (Memon, 2015).
Dalam literatur hukum, amnesty didefinisikan sebagai
pengampunan yang diberikan pemerintah kepada seseorang yang ditemukan melakukan
kesalahan “a sovereign act of pardon and
oblivion for past act granted by government to certain persons who have been
found guilty of crime or delict…” sementara tax amnesty diasosiasikan kepada pihak yang melakukan penghindaran
pembayaran pajak untuk mendorong wajib pajak dengan sukarela mematuhi kewajiban
perpajakannya (Memon, 2015). Tax amnesty
dapat didefinisikan sebagai suatu kemungkinan atau keadaan dimana dilakukan
pembayaran pajak lebih rendah atas utang pajak yang harus dibayarkan (baik
berupa denda administrasi maupun bunga) oleh subyek pajak sebagai bentuk dari pengampunan
yang diberikan atas pelanggaran ketentuan pajak yang telah dilakukan di tahun
pajak sebelumnya. Selain itu, tax amnesty
juga diberikan agar subyek pajak mau melaporkan penghasilan/usahanya yang belum
pernah dilaporkan sebelumnya, memberitahukan keadaan/nilai yang sebenarnya
sehingga kewajiban pajaknya lebih rendah. Namun, dimungkinkan juga bahwa
pemberian tax amnesty disebabkan
karena keterbatasan pemerintah untuk melakukan pemeriksaan kewajiban perpajakan
kepada masing-masing wajib pajak sehingga diberikan tax amnesty (Jacques,
Oliver dan Ruiz, 2010).
Pada umumnya sudah
menjadi suatu kelaziman bahwa ketentuan penghapusan sanksi ini hanya berlaku
untuk suatu kurun waktu tertentu. Permanent
tax amnesty biasanya bukan menjadi suatu bagian dari struktur perpajakan
yang melekat dan menjadi suatu regulasi yang berlaku terus menerusnya seperti
halnya regulasi lainnya. Selain itu, catatan penting mengenai tax amnesty adalah terkait kelompok
wajib pajak yang diidentifikasikan sebagai pihak yang dimungkinkan untuk
menerima tax amnesty. Diharapkan
adanya pengidentifikasian pemberian manfaat atas tax amnesty pada akhirnya berujung pada adanya suatu kesepakatan
bahwa wajib pajak tersebut akan membuka informasi mengenai kegiatan ekonominya
(penghasilan, harta dan lainnya) sebagai alat deteksi mengenai kewajiban
perpajakan yang sesungguhnya.
Dalam berbagai
literatur menyebutkan bahwa pada dasarnya, terdapat 4 tujuan pemerintah
memberlakukan tax amnesty, yaitu:
a.
Meningkatkan penerimaan negara dan
memperluas basis dan jumlah wajib pajak. Tujuan utama pemerintah memberlakukan tax amnesty adalah meningkatkan jumlah
wajib pajak yang sebelumnya tidak melaporkan atau kurang melaporkan
penghasilannya.
b.
Meningkatkan pengadministrasian atas
kewajiban perpajakan bagi underground
economy. Adanya tax amnesty
diharapkan mengurangi kegiatan informal yang dilakukan oleh underground economy dan melakukan shifting ke kegiatan ekonomi formal
dengan mempertimbangkan manfaat yang diperoleh dengan memiliki status sebagai
wajib pajak.
c.
Mendorong penggunaan dana yang disimpan
diluar negeri dalam keadaan idle
untuk digunakan di dalam negeri dalam bentuk investasi. Diharapkan dengan
adanya tax amnesty mampu menarik
investasi subyek pajak/wajib pajak dari suatu jurisdiksi untuk melakukan investasi
di daerah jurisdiksinya yang nantinya diharapkan mampu mendorong peningkatan
kegiatan ekonomi.
d.
Justifikasi untuk melakukan peningkatan
kapasitas sistem perpajakan setelah melewati suatu masa reformasi. Ketika suatu
sistem perpajakan baru saja mengalami perbaikan atau reorganisasi, dapat saja
dilakukan tax amnesty yang kemudian
setelah tax amnesty dilakukan
standarisasi enforcement dan compliance sebagai bagian dari perbaikan
sistem administrasi yang ada. Diharapkan adanya tax amnesty bisa menjadi sarana
yang efektif untuk dalam proses transisi peningkatan kapasitas sistem
perpajakan.
Pada umumnya outcomes yang diharapkan dengan adanya tax amnesty adalah memperluas jangkauan
wajib pajak dan mendorong peningkatan kepatuhan pajak dimasa mendatang,
meskipun dalam jangka pendek biasanya pemerintah memperoleh pengingkatan
penerimaan. Namun, perlu juga ditekankan bahwa bagaimana outcomes yang ideal dari penerapan tax amnesty tidak dapat dirumuskan dengan pasti karena outcomes dari masing-masing negara
berbeda-beda. Terlepas dari kemungkinan manfaat jangka panjang penetapan tax amnesty, berbagai perdebatan timbul.
Tax amnesty dianggap tidak adil bagi
wajib pajak yang patuh dan selalu menjalankan kewajiban perpajakannya. Tax amnesty juga sering dipandang
sebagai bentuk dari kelemahan dari administrasi pajak untuk melakukan enforcement, sehingga cara singkat untuk
menarik wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya adalah dengan
memberikan tax amnesty. Tax amnesty yang dilakukan
berulang-ulang juga cerminan dari struktur perpajakan yang tidak kokoh.
[1] Dikutip
dari
https://dunia.tempo.co/read/news/2016/04/05/116759790/apa-itu-skandal-pajak-panama-papers-ini-penjelasannya
[2] Dikutip
dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/04/25/135031426/.Tax.Amnesty.Bisa.Jadi.Alternatif.Pembiayaan
.Ekonomi.?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd