Saturday, December 22, 2012
Makna Sukacita Natal
Meskipun saat ini telah banyak dilakukan Perayaan Natal dari berbagai kampus, gereja, lembaga pelayanan, dan lain sebagainya, suasana Natal masih terasa sangat kental di bulan Desember ini. Tidak terkecuali GMKI Cabang Bandung, yang juga telah merayakan Natal di awal Desember dengan sukacita dan hikmat.
Sukacita Natal yang sebenarnya adalah ketika kita benar-benar telah memaknai arti hadir dan lahirnya Kristus di dalam hidup kita. Kelahiran Kristus di dalam hidup kita, seharusnya dapat tercermin melalui perbuatan-perbuatan dan tingkah laku kita sehari-hari, sehingga kita dapat menilai sendiri apakah Kristus telah benar-benar lahir dan diam di dalam diri kita pribadi. Sukacita Natal tidak hanya dirasakan oleh setiap orang yang mengaku Kristen saja, tetapi oleh semua orang tanpa terkecuali, meskipun tingkat sukacita yang di dapat berbeda-beda.
Merayakan Natal sudah merupakan suatu keharusan yang dilakukan oleh tiap orang Kristen dimana pun mereka berada. Kebahagiaan dalam melakukan sukacita Natal pun haruslah dapat di bagikan ke sesama manusia, meskipun mereka secara tidak langsung tidak merayakan Natal, karena Natal bukan hanya untuk golongan tertentu saja, tetapi untuk semua manusia.
GMKI Komisariat Unpad Cabang Bandung mengucapkan:
Merry Christmas 2012 and Happy New Year 2013.
Menantang Kepemimpinan Nasional
Edisi 004/2012: “TB Simatupang”, oleh: Yulius Tandyanto. Fasilitator di Komunitas 28
Tampaknya topik kepemimpinan nasional periode 2014 mencuat dalam berbagai seminar, diskusi, maupun kuliah peringatan (memorial lecture)—baik tersirat maupun tersurat. Hal ini pula yang mencuat dalam TB Simatupang Memorial Lecture bertajuk “Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila” yang diselenggarakan oleh Institut Leimena, Senin (12/11).
Tentu pertanyaannya adalah kepemimpinan nasional macam apa yang dikehendaki dan dibutuhkan menjelang 2014 dan setelahnya? Setidaknya dari mozaik keindonesiaan kini, kita dapat menimbang satu-dua hal yang penting.
Mozaik Keindonesiaan
Menimbang satu-dua hal dari mozaik keindonesiaan yang kompleks bukanlah hal yang mudah, alih-alih kita malah membatasi kisah keindonesiaan berdasarkan hal-hal tersebut. Namun, upaya tersebut penting sebagai proses reflektif dan menentukan langkah-langkah berikutnya dalam segala keterbatasan kita.
Oleh karena itu, kita membutuhkan keterbukaan pikiran untuk menyelam ke dalam aspek-aspek yang disorot seraya tak lupa menarik diri ke permukaan untuk melihat mozaik secara keseluruhan. Berdasarkan gagasan dari TB Simatupang secara luas, setidaknya ada satu aspek inspiratif yang dapat dikembangkan lebih lanjut: pembangunan nasional.
Secara karikatural, pembangunan nasional kita didominasi oleh ekonomi dengan ukuran Produk Domestik Bruto (PDB). Bila pertumbuhan PDB nasional mencapai 6 persen lebih, maka 4,8 persen disokong oleh Jawa-Sumatera. Barangkali alasannya sederhana, karena 80 persen penduduk di Indonesia tinggal di Jawa dan Sumatera.
Dengan demikian, partai politik yang berpegang pada prinsip “satu orang, satu suara” cenderung mengutamakan proyek-proyek pembangunan di Jawa-Sumatera. Misalnya, pembangunan jembatan Selat Sunda, jalan-jalan tol di Jawa dan Sumatera, serta pelabuhan di Jawa. Hal ini rasional secara ekonomis karena menghasilkan perbandingan untung-rugi (benefit-cost ratio)positif yang tinggi.
Namun, jika ditinjau dari kerangka keadilan sosial, wilayah Indonesia Timur nyata-nyata terpinggirkan. Contohnya saja kualitas dan proporsi kemiskinan di kabupaten-kabupaten daerah Timur berbeda dengan di Jawa dan Sumatera, meskipun jumlah penduduk miskin secara nasional menurun. Tanpa mengabaikan faktor daya juang warga, penduduk di wilayah Timur telah terperangkap dalam lubang kemiskinan.
Secara infrastruktur, mereka sulit mendapatkan akses transportasi, prasarana listrik, air minum, pendidikan, fasilitas kesehatan, pemukiman, keuangan-perbankan, komunikasi umum, sumber daya alam, dan fasilitas pelayanan publik yang memadai. Mungkin alasannya dapat kita duga: rasionalitas ekonomi konvensional yang memandang “mahal” pembangunan infrastruktur tersebut.
Karena itu, orientasi pembangunan nasional perlu dikoreksi dalam kerangka pancasilais yang diejawantahkan secara kualitatif. Dan tantangan ini perlu disambut oleh jajaran kepemimpinan nasional kini dan berikutnya.
Patriotisme
Dalam sistem demokrasi, kepemimpinan nasional akan selalu berada dalam ketegangan. Kaum elit yang memimpin dan masyarakat akar rumput yang dipimpin akan saling menegasi secara dialektis. Dan dari dialektika tersebut, nostalgia kepemimpinan masa lalu adalah efek samping yang tak terhindarkan sebagai refleksi praktis atas kepemimpinan hari ini.
Namun, sebagaimana nostalgia berkisah tentang masa lalu, ia dapat melumpuhkan suatu bangsa karena masyarakat menutup wajahnya pada zaman yang berubah. Masyarakat perlu sadar akan ilmu pengetahuan yang berkembang, teknologi yang kian mutakhir, dan demokrasi yang bertumbuh dalam masyarakat yang makin kompleks.
Idealnya, kesadaran penting ini akan mensintesiskan dialektika “yang memimpin” dan “yang dipimpin” dalam bentuk baru, yakni patriotisme. Unsur-unsur memimpin atau siap dipimpin tetap ada pada jiwa seorang patriot, tetapi sekaligus menghapus sekat-sekat feodal pemimpin dan yang dipimpin.
Dalam masyarakat kita, patriotisme ini juga tumbuh secara dialektis. Barangkali patriotisme yang paling banyak kelihatan dan sangat terasa adalah kesetiaan pada identitas etnis dan religius. Dalam sudut pandang tertentu kita dapat menyetujui bahwa loyalitas pada suku dan agama merupakan daya juang yang sangat potensial. Namun, sering kali potensialitas tersebut menjadi daya perusak yang hebat karena tidak dikelola dengan baik, misalnya kekerasan atas nama agama, suku, atau identitas primordial lainnya.
Oleh karena itu, pada tingkat yang lebih abstrak dan dalam skala yang lebih kecil terdapat pula patriotisme konstitusi. Mereka adalah para patriot yang memperjuangkan gagasan-gagasan keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan di luar identitas primordial. Pada tahap tertentu, kesetiaan pada konstitusi lebih diutamakan ketika berada di ruang publik, bahkan memisahkan atau meniadakan identitas etnis dan religius.
Dalam ketegangan itulah satu bentuk patriotisme hadir melampaui identitas primordial dan konstitusional. Ia setia pada konstitusi sekaligus berakar pada identitas etnis dan religius. Secara sederhana, kita dapat menyejajarkan patriotisme jenis ini dengan semangat gotong-royong. Gotong-royong dapat kita hayati sebagai upaya rasional demi mencapai satu tujuan tertentu secara bersama-sama tanpa menanggalkan identitas primordial dalam konteks masyarakat majemuk.
Dengan kata lain, patriotisme ala gotong-royong ini sangat mungkin diterapkan dalam skala kebangsaan dengan tingkat kemajemukan yang lebih luas dan kompleks. Hanya saja patriotisme jenis ini sekurang-kurangnya membutuhkan kehendak politik yang kuat dan komunikasi politik yang cerdas. Kepiawaian mengelola kehendak dan komunikasi politik ini menjadi penentu untuk memengaruhi pola pikir dan simpati publik.
Jadi, dalam konteks inilah tantangan kepemimpinan nasional perlu dijawab dan diemban oleh kita semua sebagai roh bangsa ini. Kita perlu mengoreksi orientasi pembangunan nasional dengan kepemimpinan patriotik yang memberi teladan, membangunkan elan, dan mendorong daya juang bagi seluruh masyarakat Indonesia. Untuk publik, untuk republik!
-Institut Leimena-
Tampaknya topik kepemimpinan nasional periode 2014 mencuat dalam berbagai seminar, diskusi, maupun kuliah peringatan (memorial lecture)—baik tersirat maupun tersurat. Hal ini pula yang mencuat dalam TB Simatupang Memorial Lecture bertajuk “Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila” yang diselenggarakan oleh Institut Leimena, Senin (12/11).
Tentu pertanyaannya adalah kepemimpinan nasional macam apa yang dikehendaki dan dibutuhkan menjelang 2014 dan setelahnya? Setidaknya dari mozaik keindonesiaan kini, kita dapat menimbang satu-dua hal yang penting.
Mozaik Keindonesiaan
Menimbang satu-dua hal dari mozaik keindonesiaan yang kompleks bukanlah hal yang mudah, alih-alih kita malah membatasi kisah keindonesiaan berdasarkan hal-hal tersebut. Namun, upaya tersebut penting sebagai proses reflektif dan menentukan langkah-langkah berikutnya dalam segala keterbatasan kita.
Oleh karena itu, kita membutuhkan keterbukaan pikiran untuk menyelam ke dalam aspek-aspek yang disorot seraya tak lupa menarik diri ke permukaan untuk melihat mozaik secara keseluruhan. Berdasarkan gagasan dari TB Simatupang secara luas, setidaknya ada satu aspek inspiratif yang dapat dikembangkan lebih lanjut: pembangunan nasional.
Secara karikatural, pembangunan nasional kita didominasi oleh ekonomi dengan ukuran Produk Domestik Bruto (PDB). Bila pertumbuhan PDB nasional mencapai 6 persen lebih, maka 4,8 persen disokong oleh Jawa-Sumatera. Barangkali alasannya sederhana, karena 80 persen penduduk di Indonesia tinggal di Jawa dan Sumatera.
Dengan demikian, partai politik yang berpegang pada prinsip “satu orang, satu suara” cenderung mengutamakan proyek-proyek pembangunan di Jawa-Sumatera. Misalnya, pembangunan jembatan Selat Sunda, jalan-jalan tol di Jawa dan Sumatera, serta pelabuhan di Jawa. Hal ini rasional secara ekonomis karena menghasilkan perbandingan untung-rugi (benefit-cost ratio)positif yang tinggi.
Namun, jika ditinjau dari kerangka keadilan sosial, wilayah Indonesia Timur nyata-nyata terpinggirkan. Contohnya saja kualitas dan proporsi kemiskinan di kabupaten-kabupaten daerah Timur berbeda dengan di Jawa dan Sumatera, meskipun jumlah penduduk miskin secara nasional menurun. Tanpa mengabaikan faktor daya juang warga, penduduk di wilayah Timur telah terperangkap dalam lubang kemiskinan.
Secara infrastruktur, mereka sulit mendapatkan akses transportasi, prasarana listrik, air minum, pendidikan, fasilitas kesehatan, pemukiman, keuangan-perbankan, komunikasi umum, sumber daya alam, dan fasilitas pelayanan publik yang memadai. Mungkin alasannya dapat kita duga: rasionalitas ekonomi konvensional yang memandang “mahal” pembangunan infrastruktur tersebut.
Karena itu, orientasi pembangunan nasional perlu dikoreksi dalam kerangka pancasilais yang diejawantahkan secara kualitatif. Dan tantangan ini perlu disambut oleh jajaran kepemimpinan nasional kini dan berikutnya.
Patriotisme
Dalam sistem demokrasi, kepemimpinan nasional akan selalu berada dalam ketegangan. Kaum elit yang memimpin dan masyarakat akar rumput yang dipimpin akan saling menegasi secara dialektis. Dan dari dialektika tersebut, nostalgia kepemimpinan masa lalu adalah efek samping yang tak terhindarkan sebagai refleksi praktis atas kepemimpinan hari ini.
Namun, sebagaimana nostalgia berkisah tentang masa lalu, ia dapat melumpuhkan suatu bangsa karena masyarakat menutup wajahnya pada zaman yang berubah. Masyarakat perlu sadar akan ilmu pengetahuan yang berkembang, teknologi yang kian mutakhir, dan demokrasi yang bertumbuh dalam masyarakat yang makin kompleks.
Idealnya, kesadaran penting ini akan mensintesiskan dialektika “yang memimpin” dan “yang dipimpin” dalam bentuk baru, yakni patriotisme. Unsur-unsur memimpin atau siap dipimpin tetap ada pada jiwa seorang patriot, tetapi sekaligus menghapus sekat-sekat feodal pemimpin dan yang dipimpin.
Dalam masyarakat kita, patriotisme ini juga tumbuh secara dialektis. Barangkali patriotisme yang paling banyak kelihatan dan sangat terasa adalah kesetiaan pada identitas etnis dan religius. Dalam sudut pandang tertentu kita dapat menyetujui bahwa loyalitas pada suku dan agama merupakan daya juang yang sangat potensial. Namun, sering kali potensialitas tersebut menjadi daya perusak yang hebat karena tidak dikelola dengan baik, misalnya kekerasan atas nama agama, suku, atau identitas primordial lainnya.
Oleh karena itu, pada tingkat yang lebih abstrak dan dalam skala yang lebih kecil terdapat pula patriotisme konstitusi. Mereka adalah para patriot yang memperjuangkan gagasan-gagasan keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan di luar identitas primordial. Pada tahap tertentu, kesetiaan pada konstitusi lebih diutamakan ketika berada di ruang publik, bahkan memisahkan atau meniadakan identitas etnis dan religius.
Dalam ketegangan itulah satu bentuk patriotisme hadir melampaui identitas primordial dan konstitusional. Ia setia pada konstitusi sekaligus berakar pada identitas etnis dan religius. Secara sederhana, kita dapat menyejajarkan patriotisme jenis ini dengan semangat gotong-royong. Gotong-royong dapat kita hayati sebagai upaya rasional demi mencapai satu tujuan tertentu secara bersama-sama tanpa menanggalkan identitas primordial dalam konteks masyarakat majemuk.
Dengan kata lain, patriotisme ala gotong-royong ini sangat mungkin diterapkan dalam skala kebangsaan dengan tingkat kemajemukan yang lebih luas dan kompleks. Hanya saja patriotisme jenis ini sekurang-kurangnya membutuhkan kehendak politik yang kuat dan komunikasi politik yang cerdas. Kepiawaian mengelola kehendak dan komunikasi politik ini menjadi penentu untuk memengaruhi pola pikir dan simpati publik.
Jadi, dalam konteks inilah tantangan kepemimpinan nasional perlu dijawab dan diemban oleh kita semua sebagai roh bangsa ini. Kita perlu mengoreksi orientasi pembangunan nasional dengan kepemimpinan patriotik yang memberi teladan, membangunkan elan, dan mendorong daya juang bagi seluruh masyarakat Indonesia. Untuk publik, untuk republik!
-Institut Leimena-
Thursday, November 29, 2012
TB Simatupang: Saya Adalah Orang Berhutang
Kalau kepada anak-anak muda sekarang ditanyakan: siapakah tokoh TB Simatupang itu? Saya berani bertaruh sebagian besar hanya akan menjawab bahwa itu adalah nama sebuah ruas jalan yang cukup panjang di kawasan selatan Jakarta, tanpa pernah paham kenapa nama tokoh itu diabadikan sebagai nama jalan.
Saya berani bertaruh demikian tak lain karena mengacu pada hasil jajak pendapat yang dibuat oleh Litbang Kompas bertajuk “Nilai Kepahlawanan Makin Pudar” (Kompas, Senin 12 November 2012, halaman 5). Salah satu pertanyaan dalam jajak pendapat itu: Siapa tokoh yang dikagumi jiwa kepahlawanannya? Hasil survei menunjukkan: Presiden Soekarno (40,7%), RA Kartini (9,3%), Jenderal Sudirman (8,9%), Pangeran Diponegoro (3,8%), Ki Hajar Dewantoro (3,4%), Muhammad Hatta (2,9%), Abdurrachman Wahid (2,6%), Presiden Soeharto (2,4%), dan Bung Tomo (1,9%). Tidak ada disebut nama TB Simatupang.
Institut Leimena, Senin (12/11), menggelar acara “TB Simatupang Memorial Lecture: Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila”, hanya dua hari setelah kita mengenang Hari Pahlawan 10 November, yang makin hilang maknanya. Yang menyampaikan pidato antara lain: Ketua MK Mahmud MD, KH Salahudin Wahid, Prof. Dr Syafii Maarif, Jend (Purn) Luhut Panjaitan, dan Prof. Dr Adrianus Mooy.
Panglima Termuda
Letnan Jenderal (Purn) Dr Tahi Bonar Simatupang atau Pak Sim adalah lulusan Akademi Militer di Bandung, tahun 1942, lalu menjadi Kepala Staf Angkatan Perang pada 1949 di usia 29 tahun. Ia menggantikan Jenderal Sudirman yang sakit dan kemudian meninggal dunia. Dia ikut berperan dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia, terlibat dalam perang kemerdekaan maupun perjuangan diplomasi.
Karier militernya habis setelah terlibat dalam peristiwa “kudeta setengah hati” 17 Oktober 1952. Pada saat itu pemimpin TNI AD menentang kebijakan Bung Karno dengan menuntut pembubaran parlemen dan segera digelar pemilu. Akibatnya TB Simatupang, juga AH Nasution, dicopot dari jabatannya. Namun, ia baru benar-benar pensiun dari tentara pada 1959. Menurut ekonom Prof Dr Emil Salim masa tujuh tahun itu (1952-1959) menjadi masa yang berat untuk Pak Sim karena sebagai penasihat militer anjurannya tidak digubris sampai surat pensiun diterimanya.
Namun pada periode itu Pak Sim secara simultan mendalami ilmu perang, ideologi, dan teologi. Setelah pensiun pada 1959 dia aktif di Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI), Dewan Gereja-gereja se-Asia, hingga Dewan Gereja-gereja se-Dunia.
Ketika menjadi “orang sipil” inilah banyak lontaran pemikiran Pak Sim yang penting bagi bangsa ini, dan salah satunya adalah tulisannya “Pembangunan sebagai Pengamalan Pancasila” 31 tahun lalu. Pokok pemikirannya: pembangunan adalah kelanjutan dari sejarah perjuangan bangsa, pembangunan itu bukan sekadar modernisasi melainkan harus dijiwai oleh pengamalan lima sila dalam Pancasila.
Orang Berutang
Dalam otobiografinya, yang ditulis empat tahun sebelum meninggal dunia, 1 Januari 1990, Pak Sim menulis: "Segala sesuatu adalah milik kita, tetapi pada akhirnya semua yang kita miliki adalah milik Allah. Sehingga dalam cara kita memiliki segala sesuatu itu, kita membayar utang kita dengan melayani sesama kita dan dengan itu kita memuliakan nama Tuhan.”
Jasa dan pemikiran Pak Sim relevan untuk dimunculkan tak lain karena ada kegalauan bahwa 14 tahun reformasi terjadi kekosongan definisi, makna, dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, dan Pancasila mengarah hanya sebagai “dongeng sejarah”. Indikasinya adalah ketimpangan ekonomi yang parah, otonomi tanpa arah, fundamentalisme dan liberalisme menguat, hilangnya jati diri bangsa, yang kesemuanya mengarah pada krisis kebangsaan.
Momen ini baik untuk mengingatkan khususnya kepada banyak pemimpin politik hari ini yang lupa bahwa sesungguhnya mereka harus membayar utang kepada para pemilihnya dalam bentuk melayani mereka, dan bukannya malah mencuri. Jabatan dan posisi bukan kenikmatan, melainkan bekerja dan melayani, jadi sangat tidak patut kalau malah dipakai untuk korupsi.
Menurut Emil Salim, bila Pancasila diamalkan dengan baik, kita akan mampu bertahan sampai 100 tahun (yakni 2045) sebagai sebuah bangsa.
Namun kalau tidak, bangsa ini akan tinggal sejarah seperti Uni Soviet atau Yugoslavia. Untuk itu Bung Karno sudah mengingatkan ketika berpidato tahun 1958: A nation without faith cannot stand (sebuah bangsa tanpa kepercayaan takkan bertahan). Maka marilah melihat Pancasila harus utuh sebagai sebuah kesatuan dengan Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sebuah cita-cita, jangan hanya diambil sila per sila, sebab dia merupakan arah pembangunan bangsa ini.
KRISTANTO HARTADI. Dewan Redaksi Harian Sinar Harapan.
Sumber: Kolom Matahati, Jumat, 16 November 2012, http://SHNEWS.CO/MH.018
Sunday, November 18, 2012
Gelar Pahlawan Nasional Soeharto
Istilah Pahlawan dalam KBBI, adalah orang-orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau dapat dikatakan pejuang yang gagah berani.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada 2 Tokoh Proklamator bangsa, yaitu Soekarno dan Hatta yang baru-baru ini dilakukan, dinilai begitu sangat terlambat. Setelah 67 tahun bangsa ini merdeka, mengapa baru saat ini diberikan gelar Pahlawan Nasional kepada kedua founding father kita tersebut?
Terlepas dari keterlambatan itu, semua pihak menilai memang sudah selayaknya Soekarno dan Hatta mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Efek dari pemberian gelar bagi Soekarno-Hatta ini, tentunya memunculkan desakan bagi para pendukung Soeharto untuk juga diberikan gelar Pahlawan Nasional kepada presiden kedua kita. Ironinya, justru desakan agar Soeharto dijadikan pahlawan lebih keras terdengar daripada gelar pahlawan untuk Soekarno-Hatta. Hal ini mungkin bisa dipahami, mengingat elite-elite politik saat ini banyak yang merupakan anak buah dari Soeharto yang dulu mendapat jabatan dan posisi yang enak. Mereka akan berfikir, Soekarno-Hatta kini sudah menjadi Pahlawan Nasional, sehingga tidak ada alasan untuk tidak memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
Beberapa pihak yang dinilai mendukung pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, yaitu seperti Golkar dan Gerindra. Alasannya adalah Soeharto banyak berjasa dalam membangun Indonesia. Oleh karena jasanya itu, maka Soeharto dijuluki Bapak Pembangunan. Selain sebagai presiden ke-2, beliau merupakan presiden yang program-program pembangunannya sangat jelas dan terencana. “Pembangunan ekonomi Indonesia terjadi di zaman Pak Harto. Peninggalannya pun banyak dan masih dilanjutkan oleh pemerintah. Bahkan ada yang masih dinikmati oleh masyarakat hingga kini,” tutur Tantowi Yahya. Setiap pemimpin memiliki kekurangan dan kelebihan, namun pada dasarnya selalu ingin berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara, sehingga perlu diapresiasi.
Namun, sebagai pihak yang tidak mendukung, berpendapat bahwa Soeharto tidak layak diberikan gelar sebagai Pahlawan Nasional. Alasannya adalah; Soeharto menggunakan intimidasi dan kekerasan untuk melanggengkan kekuasaannya, banyak pelanggaran HAM yang dilakukan di zaman Orde Baru dan masih belum terungkap serta tidak ada penyelesaian hukumnya. Sehingga, “tidak bisa hanya karena Soeharto membangun gedung dan jembatan lalu digelari pahlawan,” terang Ray Rangkuti.
LBH Semarang mengirimkan surat kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa, Jenderal (Purn) Djoko Suyanto, yang berisi penolakan rencana pemerintah yang akan memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto tersebut. Alasannya yaitu berdasarkan fakta-fakta di lapangan, seperti: laporan Kantor PBB urusan obat-obatan dan kriminal (UN Office on Drugs and Crime/UNODC) bersama Bank Dunia yang telah mengeluarkan laporan Stolen Asset Recovery (StAR) pada tahun 2005. Dalam laporan disebutkan bahwa Soeharto berada pada peringkat pertama sebagai (Mantan) Presiden terkorup di abad 20 yaitu sebesar US$ 15-35 miliar. Jumlah hasil korupsinya ini di atas Ferdinand E. Marcos (Filipina) US$ 5-10 miliar, dan Mobutu Sese Seko (Kongo) US$ 5 miliar.
Selain itu, Soeharto terlibat dalam kasus pembantaian massal 1965–1970 di mana jumlah korban mencapai 1.500.000 korban meninggal dan hilang. "Mereka kebanyakan adalah anggota PKI, atau ormas yang dianggap berafiliasi dengan PKI seperti SOBSI, BTI, Gerwani, Lekra dan lain-lain,". Mereka dihukum tanpa melalui proses hukum yang sah. Rakhma menilai Soeharto tidaklah layak untuk mendapat gelar pahlawan nasional, karena menurut UU No.20/2009 tentang Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa, pasal 25 mengenai syarat umum memperoleh Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa yaitu diantaranya butir: (b) Memiliki integritas moral dan keteladanan; dan (d) berkelakuan baik. Selain itu berdasar Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor XI tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas korupsi kolusi dan nepotisme yang isinya mengamanatkan penuntasan dugaan KKN Mantan Presiden Soeharto.
Namun, di sisi lain Golkar juga melihat Indonesia sebagai bangsa besar perlu melakukan rekonsiliasi dengan masa lalu. "Kita perlu berdamai dengan sejarah,"ucap Hajriyanto Tohari (Ketua DPP Partai Golkar). Nilai-nilai Pancasila mengajarkan agar bangsa Indonesia tidak memiliki sifat pendendam. Hajriyanto percaya semangat berdamai dengan masa lalu, akan menjadi modal besar bangsa ini untuk maju.
Terlepas dari semua pihak yang menyatakan dirinya sebagai pro-kontra atau bahkan netral terhadap pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, mari kita lihat dan ambil sisi positifnya saja. Kiranya sebagai generasi muda penerus bangsa, kita contoh hal-hal positif dari sosok seorang Soeharto dalam pengabdian dan kecintaannya terhadap bangsa ini.
Apa tanggapan saudara? Apakah setuju atau tidak pemberian gelar kepada Soeharto?
Penulis: Alfonsius Siringoringo
Wednesday, November 14, 2012
Pencapaian Pemuda Indonesia
sumber: Institut Leimena
Dalam berbagai kesempatan, saya sering bertanya kepada mahasiswa: “Apa kamu bangga menjadi orang Indonesia?” Umumnya mereka menjawab: “Pastinya saya bangga!” Alasan mereka beragam. Ada yang bangga karena keindahan bumi Nusantara, kekayaan alam, keragaman budaya, sampai dengan tokoh-tokoh terkenal yang sering muncul di buku sejarah dan media.
Namun rasa bangga tersebut segera sirna, ketika kami berdialog bahwa semua yang mereka banggakan itu adalah semu.
Keindahan dan kekayaan alam adalah mutlak pemberian Sang Pencipta. Bukan bangga, namun sejatinya rasa bersyukurlah yang kita rasakan. Namun keindahan dan kekayaan alam tidak juga mendatangkan kemakmuran. Hampir tujuh dekade merdeka, toh kita tetap berkutat dengan kemiskinan.
Keragaman suku dan budaya terus-menerus ternoda oleh aksi kekerasan yang justru menyangkal realita akan kebhinekaan kita sebagai bangsa. Meski aksi ini dilakukan oleh sebagian kecil orang, namun karena terus dipupuk dan terjadi, maka rasa bangga berganti dengan rasa cemas dan prihatin.
Tokoh-tokoh legendaris dalam sejarah kita ternyata “mati satu, tidak tumbuh seribu”. Generasi penerus tidak, atau belum, sekaliber mereka, sehingga kebanggaan akan mereka menjadi romantisme masa lalu. Sama halnya dengan membanggakan candi Borobudur, suatu peninggalan kejayaan masa lalu belaka.
Rasa frustasi segera berkecamuk seketika saya meminta mereka menunjukkan berita di media yang berupa kabar baik, yang bisa membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia.
Ketika saya mengingatkan mereka akan Sumpah Pemuda, reaksi spontan mereka adalah memberikan tatapan seolah berkata: “Itu kan juga masa lalu”.
Daya Dobrak Sumpah
Setiap tahun kita memperingati Sumpah Pemuda sebagai suatu tonggak sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Namun seiring perubahan zaman, peringatan tersebut cenderung sambil lalu dan mengkerdilkan daya dobrak sumpah untuk lahirnya suatu bangsa yang besar.
Butir pertama, “bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia”, secara formal yuridis terwujud saat Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan. Bentang Sabang sampai Merauke setara dengan Los Angeles-New York di Amerika, dan London-Ankara di Eropa. Nusantara tidak saja berada di silang benua dan samudera, namun juga silang budaya, ideologi, dan geopolitik. Logikanya, mustahil Nusantara bisa menjadi suatu negara. Namun “atas berkat rahmat Allah”, Indonesia merdeka dan bersatu menjadi satu negara kesatuan.
Kemajemukan di Nusantara sungguh keterlaluan. Secara antropologi, orang-orang di Nusantara terdiri dari ratusan bangsa dan ras. Secara linguistik, mereka memiliki ratusan ragam bahasa. Secara ekonomi, mereka adalah petani, pelaut, pedagang, dan buruh. Mayoritas memeluk Islam, tapi budaya yang dominan mengacu ke India. Namun semenjak 1928 para pemuda berikrar untuk “berbangsa yang satu, bangsa Indonesia”. Seketika itu juga bangsa-bangsa menjadi suku-suku bangsa. Mayoritas dan minoritas hanya dari segi kuantitas, tidak dalam kualitas berpartisipasi sebagai satu bangsa.
Butir ketiga, “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, penuh dengan ironi. Seandainya bahasa Jawa, yang notabene adalah suku terbesar, menjadi dasar bagi bahasa Indonesia, maka hal tersebut adalah wajar. Namun bahasa dari suku minoritas, Melayu Pasar, yang justru disepakati oleh para pemuda sebagai bahasa dasar untuk pengembangan bahasa Indonesia.
Mengingat keragaman suku bangsa, adalah wajar jika bahasa resmi suatu negara terdiri lebih dari satu. Biasanya bahasa suku-suku mayoritas akan menjadi bahasa resmi, seperti halnya bahasa Mandarin menjadi bahasa resmi di Cina. Supaya tidak timbul masalah, bahasa mantan penjajah ditahbiskan menjadi bahasa resmi juga. Demikian yang terjadi di Singapura dengan empat bahasa resmi: Melayu, Inggris, Mandarin, dan Tamil. India menjadikan bahasa Hindi dan Inggris sebagai bahasa resmi, namun mereka tidak memiliki bahasa nasional..
Tapi bangsa Indonesia bisa manunggal dalam satu bahasa resmi dan bahasa nasional. Tidak ada negara-bangsa lain yang mampu menyatukan suku-suku bangsanya dan berkomunikasi hanya dalam satu bahasa. Berkomunikasi adalah kunci menjaga persatuan. Suku-suku mayoritas tidak hanya telah menunjukkan jiwa besar dalam membiarkan bahasa Melayu menjadi dasar bahasa Indonesia, namun juga tekad untuk menjadi satu untuk mencapai masa depan yang lebih baik sebagai satu bangsa.
Pencapaian Luar Biasa
Apakah ada bangsa lain di dunia yang mampu menyatukan pencapaian pemuda Indonesia? Belum pernah ada dalam sejarah sekelompok manusia yang terdiri dari ratusan suku bangsa, yang mendiami wilayah seluas Nusantara, yang memiliki ratusan ragam bahasa, kemudian menjelma menjadi bangsa yang satu, bertanah-air satu, dan berbahasa satu. Bangsa Romawi dan Yunani di masa lalu dalam puncak kejayaannya, tidak mencapai kesatuan bangsa-wilayah-bahasa. Tidak juga Amerika Serikat dan Cina di zaman modern ini. Hanya bangsa Indonesia yang mampu meraih pencapaian ini.
Sumpah Pemuda adalah suatu pencapaian luar biasa dalam sejarah umat manusia. Suatu pencapaian yang selalu bisa kita banggakan, sekaligus menjadi pengingat bahwa cita-cita adalah suatu keniscayaan. Tidak ada nama tokoh yang menonjol dari Kongres Pemuda II selain “Pemuda”. Label yang selalu ada sepanjang zaman saat sekelompok manusia mencapai usia tertentu. Lord Beaconsfield pernah berkata: “Almost everything that is great has been done by youth.”
Generasi muda harus sadar bahwa pemuda Indonesia mampu menorehkan sejarah monumental. Untuk itu mereka perlu kebanggaan dan kepercayaan diri untuk berkiprah. Jangan menanti kiprah si Budi atau si Badu, sebab setiap mereka adalah pemuda. Masa depan tidak penuh dengan keterpurukan masa kini. Masa depan yang lebih baik bukanlah utopia, tapi suatu keniscayaan. Masa depan memang milik anak-cucu, tapi tekad pemudalah yang membentuknya. Selamat berbangga atas karya pemuda Indonesia!
YU UN OPPUSUNGGU. Bidang Studi Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan, saya sering bertanya kepada mahasiswa: “Apa kamu bangga menjadi orang Indonesia?” Umumnya mereka menjawab: “Pastinya saya bangga!” Alasan mereka beragam. Ada yang bangga karena keindahan bumi Nusantara, kekayaan alam, keragaman budaya, sampai dengan tokoh-tokoh terkenal yang sering muncul di buku sejarah dan media.
Namun rasa bangga tersebut segera sirna, ketika kami berdialog bahwa semua yang mereka banggakan itu adalah semu.
Keindahan dan kekayaan alam adalah mutlak pemberian Sang Pencipta. Bukan bangga, namun sejatinya rasa bersyukurlah yang kita rasakan. Namun keindahan dan kekayaan alam tidak juga mendatangkan kemakmuran. Hampir tujuh dekade merdeka, toh kita tetap berkutat dengan kemiskinan.
Keragaman suku dan budaya terus-menerus ternoda oleh aksi kekerasan yang justru menyangkal realita akan kebhinekaan kita sebagai bangsa. Meski aksi ini dilakukan oleh sebagian kecil orang, namun karena terus dipupuk dan terjadi, maka rasa bangga berganti dengan rasa cemas dan prihatin.
Tokoh-tokoh legendaris dalam sejarah kita ternyata “mati satu, tidak tumbuh seribu”. Generasi penerus tidak, atau belum, sekaliber mereka, sehingga kebanggaan akan mereka menjadi romantisme masa lalu. Sama halnya dengan membanggakan candi Borobudur, suatu peninggalan kejayaan masa lalu belaka.
Rasa frustasi segera berkecamuk seketika saya meminta mereka menunjukkan berita di media yang berupa kabar baik, yang bisa membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia.
Ketika saya mengingatkan mereka akan Sumpah Pemuda, reaksi spontan mereka adalah memberikan tatapan seolah berkata: “Itu kan juga masa lalu”.
Daya Dobrak Sumpah
Setiap tahun kita memperingati Sumpah Pemuda sebagai suatu tonggak sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Namun seiring perubahan zaman, peringatan tersebut cenderung sambil lalu dan mengkerdilkan daya dobrak sumpah untuk lahirnya suatu bangsa yang besar.
Butir pertama, “bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia”, secara formal yuridis terwujud saat Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan. Bentang Sabang sampai Merauke setara dengan Los Angeles-New York di Amerika, dan London-Ankara di Eropa. Nusantara tidak saja berada di silang benua dan samudera, namun juga silang budaya, ideologi, dan geopolitik. Logikanya, mustahil Nusantara bisa menjadi suatu negara. Namun “atas berkat rahmat Allah”, Indonesia merdeka dan bersatu menjadi satu negara kesatuan.
Kemajemukan di Nusantara sungguh keterlaluan. Secara antropologi, orang-orang di Nusantara terdiri dari ratusan bangsa dan ras. Secara linguistik, mereka memiliki ratusan ragam bahasa. Secara ekonomi, mereka adalah petani, pelaut, pedagang, dan buruh. Mayoritas memeluk Islam, tapi budaya yang dominan mengacu ke India. Namun semenjak 1928 para pemuda berikrar untuk “berbangsa yang satu, bangsa Indonesia”. Seketika itu juga bangsa-bangsa menjadi suku-suku bangsa. Mayoritas dan minoritas hanya dari segi kuantitas, tidak dalam kualitas berpartisipasi sebagai satu bangsa.
Butir ketiga, “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, penuh dengan ironi. Seandainya bahasa Jawa, yang notabene adalah suku terbesar, menjadi dasar bagi bahasa Indonesia, maka hal tersebut adalah wajar. Namun bahasa dari suku minoritas, Melayu Pasar, yang justru disepakati oleh para pemuda sebagai bahasa dasar untuk pengembangan bahasa Indonesia.
Mengingat keragaman suku bangsa, adalah wajar jika bahasa resmi suatu negara terdiri lebih dari satu. Biasanya bahasa suku-suku mayoritas akan menjadi bahasa resmi, seperti halnya bahasa Mandarin menjadi bahasa resmi di Cina. Supaya tidak timbul masalah, bahasa mantan penjajah ditahbiskan menjadi bahasa resmi juga. Demikian yang terjadi di Singapura dengan empat bahasa resmi: Melayu, Inggris, Mandarin, dan Tamil. India menjadikan bahasa Hindi dan Inggris sebagai bahasa resmi, namun mereka tidak memiliki bahasa nasional..
Tapi bangsa Indonesia bisa manunggal dalam satu bahasa resmi dan bahasa nasional. Tidak ada negara-bangsa lain yang mampu menyatukan suku-suku bangsanya dan berkomunikasi hanya dalam satu bahasa. Berkomunikasi adalah kunci menjaga persatuan. Suku-suku mayoritas tidak hanya telah menunjukkan jiwa besar dalam membiarkan bahasa Melayu menjadi dasar bahasa Indonesia, namun juga tekad untuk menjadi satu untuk mencapai masa depan yang lebih baik sebagai satu bangsa.
Pencapaian Luar Biasa
Apakah ada bangsa lain di dunia yang mampu menyatukan pencapaian pemuda Indonesia? Belum pernah ada dalam sejarah sekelompok manusia yang terdiri dari ratusan suku bangsa, yang mendiami wilayah seluas Nusantara, yang memiliki ratusan ragam bahasa, kemudian menjelma menjadi bangsa yang satu, bertanah-air satu, dan berbahasa satu. Bangsa Romawi dan Yunani di masa lalu dalam puncak kejayaannya, tidak mencapai kesatuan bangsa-wilayah-bahasa. Tidak juga Amerika Serikat dan Cina di zaman modern ini. Hanya bangsa Indonesia yang mampu meraih pencapaian ini.
Sumpah Pemuda adalah suatu pencapaian luar biasa dalam sejarah umat manusia. Suatu pencapaian yang selalu bisa kita banggakan, sekaligus menjadi pengingat bahwa cita-cita adalah suatu keniscayaan. Tidak ada nama tokoh yang menonjol dari Kongres Pemuda II selain “Pemuda”. Label yang selalu ada sepanjang zaman saat sekelompok manusia mencapai usia tertentu. Lord Beaconsfield pernah berkata: “Almost everything that is great has been done by youth.”
Generasi muda harus sadar bahwa pemuda Indonesia mampu menorehkan sejarah monumental. Untuk itu mereka perlu kebanggaan dan kepercayaan diri untuk berkiprah. Jangan menanti kiprah si Budi atau si Badu, sebab setiap mereka adalah pemuda. Masa depan tidak penuh dengan keterpurukan masa kini. Masa depan yang lebih baik bukanlah utopia, tapi suatu keniscayaan. Masa depan memang milik anak-cucu, tapi tekad pemudalah yang membentuknya. Selamat berbangga atas karya pemuda Indonesia!
YU UN OPPUSUNGGU. Bidang Studi Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
Monday, November 12, 2012
MENEBAR SEMANGAT PAHLAWAN
Istilah Pahlawan yang kita kenal dahulu dan saat ini tentulah berbeda. Pahlawan yang kita kenal dahulu ialah mereka yang berjuang dan bertempur di medan perang demi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia, seperti Bung Tomo, dll. Namun saat ini, istilah Pahlawan sebenarnya adalah orang-orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau dapat dikatakan pejuang yang gagah berani.
Memang di masa ini sudah berakhir masa penjajahan fisik seperti zaman dulu. Tidak ada lagi peperangan maupun pertumpahan darah dalam membela dan mempertahankan negara ini. Namun, harus diketahui bahwa sebenarnya kita masih dijajah, baik oleh pihak asing yang menguasai aset-aset bangsa maupun oleh pemerintah/penguasa kita sendiri. Kedaulatan berada di tangan rakyat, sepertinya tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Dimana masih banyaknya ketidakadilan yang terjadi, ketimpangan sosial yang cukup tinggi serta bobroknya integritas para pemimpin dan pejabat kita.
Ini bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang harus kita persalahkan. Yang paling penting dari semua masalah ini adalah, bagaimana kita sebagai pemuda-pemudi generasi penerus bangsa ini menyikapinya, serta berbuat sesuatu demi kemajuan bangsa kita tercinta.
Dengan belajar dari semangat para pahlawan terdahulu, peluang anak-anak bangsa untuk terjun dalam pentas global di berbagai bidang (sains, teknologi, olahraga, seni-budaya, dll) sangatlah besar. Kita tidak perlu lagi untuk berperang dan mengangkat senjata agar dapat disebut sebagai pahlawan. Tetapi dengan berprestasi dan mengharumkan nama bangsa ini, kita telah disebut sebagai pahlawan-pahlawan muda.
Para pahlawan kita pun tidak begitu ingin untuk dipuja-puja karena jasa dan pengorbanan yang telah mereka lakukan, tetapi kita juga harus memperhatikan dan menghormatinya, bukan mengabaikan mereka begitu saja. Namun, para pahlawan begitu ingin memberikan pesan moral melalui semangat dan pengorbanannya kepada generasi muda untuk meneruskan perjuangan di segala bidang yang ada melalui kemampuan dan keahlian yang kita miliki. Apakah kita mau dan siap menjadi pahlawan-pahlawan muda selanjutnya?
GMKI Komisariat Unpad
Tuesday, October 23, 2012
SEJARAH GMKI Komisariat Unpad
Komisariat Universitas Padjadjaran berdiri tanggal 18 Maret 2004, komisariat pertama yang berdiri di GMKI Cabang Bandung dengan menganut sistem pengelompokkan tempat kuliah - karena Cabang Bandung pernah punya komisariat wilayah, yaitu Komisariat Jatinangor yang telah menjadi Cabang Sumedang -
Ketika itu Badan Pengurus Cabang yang diketuai oleh Bang Tommy Tampubolon,SH. Meresmikan pendirian dan melantik Pengurus I Komisariat Unpad. Berdirinya Komisariat Unpad tidak terlepas dari peranan Ketua Bidang Organisasi dan Departemen Komisariat - ketika itu dijabat oleh Kak Desi Ginting dan Bang Ewin - yang telah susah payah mendorong dan memotivasi segenap potensi cabang untuk mau berkomisariat, dikarenakan institusi ini masih baru serta masih gamang dalam aktivitasnya.
Adapun pengurus yang pertama di Ketuai oleh Bang Mindo Simamora, Sekretarisnya dijabat oleh Bang Gokma Sinaga dengan Bendahara Kak Febriyanti serta tak lupa dengan dua orang Ketua Bidang Internal dan Eksternal yang masing-masing dijabat oleh Bang Jenson Situmorang dengan Bang Jackson Pandiangan. Melalui pengurus perdana inilah diletakkan dasar-dasar kehidupan berkomisariat di Cabang Bandung, dimana kemudian disusul dengan pembentukan Komisariat STIKI,ITB dan STHB.
Dinamika berkomisariat yang cukup menarik ketika itu, terjadi tumpang tindih antara program tingkatan cabang dengan komisariat sehingga diperlukan adanya suatu aturan main dalam kehidupan berorganisasi. BPC yang menjabat saat itu (periode 2003-2005) membentuk peraturan dasar komisariat yaitu aturan tertulis pertama dalam kehidupan berkomisariat di Cabang Bandung. Peraturan ini kemudian menjadi dasar pembentukan Statuta Cabang GMKI Bandung yang disusun dan disahkan dalam Konferensi Cabang XXX. Sejak saat itulah GMKI Cabang Bandung resmi masuk dalam jajaran cabang-cabang yang memiliki komisariat.
Sekarang Komisariat Unpad telah memasuki usia kesembilan, masih tergolong muda bagi hitungan dinamika GMKI yang telah memasuki usia 58 tahun. Harapan dan tuntutan bagi Komisariat Unpad juga semakin besar, seiring dengan isu globalisasi yang semakin santer terdengar. Semoga kondisi ini dapat dijawab dengan positif oleh segenap Potensi Komisariat Unpad, melalui kreativitas demi pencapaian karakter kader GMKI yang kita cita-citakan bersama.
Struktur Pengurus Komisariat dari masa ke masa:
Struktur Pengurus Komisariat I
Ketua : Mindo Simamora
Sekretaris : Gokma Sinaga
Bendahara : Febriyanti
Kabid Internal : Jenson Situmorang
Kabid Eksternal : Jackson Pandiangan
Struktur Pengurus Komisariat II
Ketua : Jenson Situmorang
Sekretaris : Julius Siahaan
Bendahara : Betty Sormin
Kabid Internal : David Simamora
Kabid Eksternal : Hendra Silalahi
Struktur Pengurus Komisariat III
Ketua : Herbert Alfryando Parapat
Sekretaris : Hannah Limbong
Bendahara : Olivia Pujiasi Purba
Kabid Internal : Christinne Silalahi
Dept. Kader : Ansitus Simangunsong
Dept. Komunikasi: Agnes Tambun
Kabid Eksternal : Samuel Simatupang
Struktur Pengurus Komisariat IV
Ketua : Rahmat Girsang
Sekretaris : Manuel Hutauruk
Bendahara : Ester Perangin-angin
Kabid Internal : Martha Panjaitan
Dept. Kader : Benny Sormin
Dept. Komunikasi: Mekar Sinurat
Kabid Eksternal : Rina Sinaga
Struktur Pengurus Komisariat V
Ketua : Fonti Hutajulu
Sekretaris : Margaretha Tinambunan
Bendahara : Yanthi Siahaan
Kabid Internal : Ezra Halleluya Awang (Ansitus Simangunsong)
Kabid Eksternal : Chandra Lumbantobing
Struktur Pengurus Komisariat VI
Ketua : Andreas P Lengkong
Sekretaris : Erasmus Napitupulu
Bendahara : Syella D Ginting
Kabid Internal : Panca P Nainggolan
Kabid Eksternal : Ezra Halleluya Awang
Struktur Pengurus Komisariat VII
Ketua : Ericko Sinuhaji
Sekretaris : Sanjes M Saragih
Bendahara : Yohannes Panggabean
Kabid Internal : Christian Dior
Kabid Eksternal : Danny A Sibuea
Struktur Pengurus Komisariat VIII
Ketua : Alvian Permana
Sekretaris : Alfonsius JP Siringoringo
Bendahara : Sandy Aletta
Kabid Internal : Matthew Darmawan Lintin
Kabid Eksternal : Olivia Griselda Sianturi
STRUKTUR PENGURUS KOMISARIAT IX
MASA BAKTI 2012-2013
Ketua : Alfonsius JP Siringoringo
Sekretaris : Marnaek Tambunan
Bendahara : Boy Brian Sukatendel
Wa.Bendahara : Olivia Anastasya Saragih
Kabid Internal : Elizabeth Juliana
Dept. PKK : Daniel Arya
Dept. KIKA : Christin Febryanti
Kabid Eksternal : Jonas Pasaribu
Dept. HAL : Ezra Aritonang
Tuesday, October 16, 2012
Diskusi Eksternal
[UNDANGAN]
Syalom.
GMKI mengundang teman2 semua untuk hadir dalam acara Diskusi Eksternal dengan Tema:
"Pendidikan di Daerah Tertinggal dan Oasis Perubahan Pemuda"
Pembicara:
1. Pdt. Daniel Alexander (Pendiri 35 Sekolah dan PESAT(Pelayanan Desa Terpadu) di Papua).
2. Ir. Marojahan Doloksaribu, M.Ing (Akademisi/Dosen UKI).
Waktu dan Tempat: 14.00 WIB-selesai.
Sabtu, 20 Oktober 2012 bertempat di SC GMKI Cabang Bandung (Jl. Ir. H. Djuanda 109, Depan FO Donatello, Dago).
Diharapkan partisipasi dan kedatangan teman2 sekalian dalam rangkaian acara ini serta bergabung menjadi satu keluarga di GMKI. Terima kasih, Tuhan memberkati.
FREE.
CP: Jojo 085766139016
Tinggi iman, tinggi ilmu, tinggi pengabdian.
UOUS
Syalom.
GMKI mengundang teman2 semua untuk hadir dalam acara Diskusi Eksternal dengan Tema:
"Pendidikan di Daerah Tertinggal dan Oasis Perubahan Pemuda"
Pembicara:
1. Pdt. Daniel Alexander (Pendiri 35 Sekolah dan PESAT(Pelayanan Desa Terpadu) di Papua).
2. Ir. Marojahan Doloksaribu, M.Ing (Akademisi/Dosen UKI).
Waktu dan Tempat: 14.00 WIB-selesai.
Sabtu, 20 Oktober 2012 bertempat di SC GMKI Cabang Bandung (Jl. Ir. H. Djuanda 109, Depan FO Donatello, Dago).
Diharapkan partisipasi dan kedatangan teman2 sekalian dalam rangkaian acara ini serta bergabung menjadi satu keluarga di GMKI. Terima kasih, Tuhan memberkati.
FREE.
CP: Jojo 085766139016
Tinggi iman, tinggi ilmu, tinggi pengabdian.
UOUS
Monday, October 1, 2012
Hari Kesaktian Pancasila
GMKI Komisariat Unpad mengucapkan selamat Hari Kesaktian Pancasila.
Marilah kita sebagai generasi penerus bangsa untuk "mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa kita yang sudah mulai luntur". Masa depan bangsa ini kelak ada di tangan kita semua generasi muda, apakah akan semakin baik, biasa-biasa saja ataukah malah semakin buruk di mata dunia.
Tinggi iman, tinggi ilmu, tinggi pengabdian.
UOUS
Marilah kita sebagai generasi penerus bangsa untuk "mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa kita yang sudah mulai luntur". Masa depan bangsa ini kelak ada di tangan kita semua generasi muda, apakah akan semakin baik, biasa-biasa saja ataukah malah semakin buruk di mata dunia.
Tinggi iman, tinggi ilmu, tinggi pengabdian.
UOUS
Thursday, September 27, 2012
KONFERCAB XXXVII
Konfercab (Konferensi Cabang) ke-XXXVII GMKI Cabang Bandung akan berlangsung pada:
Kamis-Minggu, 28-30 September 2012
Bertempat di SC GMKI Cabang Bandung & Maribaya, Lembang.
Mari datang dan sukseskan acara tahunan GMKI Cabang Bandung ini untuk menilai LPJ BPC Masa Bakti 2011-2012 dan memilih Ketua Cabang dan Sekretaris Cabang berikutnya.
Satukan hati kita dalam Konfercab demi terwujudnya GMKI Bandung yang lebih baik!
CP: Dior 087822556579
Kamis-Minggu, 28-30 September 2012
Bertempat di SC GMKI Cabang Bandung & Maribaya, Lembang.
Mari datang dan sukseskan acara tahunan GMKI Cabang Bandung ini untuk menilai LPJ BPC Masa Bakti 2011-2012 dan memilih Ketua Cabang dan Sekretaris Cabang berikutnya.
Satukan hati kita dalam Konfercab demi terwujudnya GMKI Bandung yang lebih baik!
CP: Dior 087822556579
Tuesday, September 11, 2012
Donor Darah GKI MY - PMI
GKI Maulana Yusuf bekerja sama dengan PMI Bandung mengadakan kegiatan donor darah pada:
Minggu, 16 September 2012
Pukul 08.00 - 12.00 WIB
Bertempat di GKI Maulana Yusuf, Bandung.
Mari datang dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Minggu, 16 September 2012
Pukul 08.00 - 12.00 WIB
Bertempat di GKI Maulana Yusuf, Bandung.
Mari datang dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Monday, September 3, 2012
DPR Sahkan UU Keistimewaan Yogyakarta
Oleh: Ajat M Fajar
INILAH.COM, Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Yogyakarta resmi disahkan menjadi Undang-undang melalui sidang paripurna DPR yang digelar hari ini, Kamis (30/8/2012).
"Dengan ini rancangan undang-undang tentang keistimewaan Yogyakarta disahkan," ujar pimpinan sidang paripurna Pramono Anung, di gedung DPR, Kamis (30/8/2012).
Keputusan ini diambil setelah Ketua Komisi II DPR (bidang pemerintahan daerah) Agun Gunanjar menyampaikan laporannya terkait pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta yang telah dibahas Komisi II dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM.
"Catatan yang diberikan dari hasil penyisiran tim Komisi II dan pemerintah dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini," kata pria yang kerap disapa Pram tersebut.
Sementara itu Mendagri Gamawan Fauzi mengapresiasi disahkannya RUU Keistimewaan Yogyakarta menjadi undang-undang. Karena hasil klausul-klausul yang dituangkan dalam UU Keistimewaan itu merupakan hasil kerja maksimal antara pemerintah dan Komisi II
"Substansi dalam ruuk ini mungkin saja belum memuaskan semua pihak, namun ini adalah usaha maksimal yang sudah kita lakukan," ujar Gamawan selaku perwakilan dari pemerintah.
Pengesahan undang-undang Keistimewaan DIY ini tidak melalui interupsi berarti. Rapat dimulai pukul 14.20. WIB dihadiri oleh 345 anggota DPR RI. Namun hingga pukul 15.00 WIB, hanya 205 anggota DPR yang hadir saat pengesahan tersebut. [mvi]
STRUKTUR PENGURUS GMKI KOMISARIAT UNPAD MASA BAKTI 2012-2013
Ketua: Alfonsius JP Siringoringo
Sekretaris: Marnaek Tambunan
Bendahara: Boy Brian Sukatendel
Wakil Bendahara: Olivia Anastasya Saragih
Kabid Internal: Elizabeth Juliana
Kabid Eksternal: Jonas Pasaribu
Departemen Komunikasi Informasi & Kesejahteraan Anggota: Christin Febryanti
Departemen Kaderisasi & Kerohanian: Daniel Arya Silalahi
Departemen Hubungan Antar Lembaga: Ezra Aritonang
UOUS
Friday, August 31, 2012
Pemerintah dan DPR Remehkan Penanganan HAM
Penulis : Thomas Harming SuwartaKamis, 30 Agustus 2012 21:08 WIB
JAKARTA--MICOM: Meskipun Presiden sudah mengeluarkan keputusan presiden soal perpanjangan masa jabatan Komisioner Komnas HAM periode 2007-2012, aroma ketidakseriusan pemerintah dan juga DPR terhadap isu HAM di Tanah Air makin jelas tercium.
"Situasi yang dialami oleh Komnas HAM saat ini adalah bagian kecil dari sikap dan niat pemerintah dan juga DPR yang tidak cukup responsif apalagi peduli dengan soal-soal HAM di Tanah Air," tegas pengamat politik UI Boni Hargens yang bersama aktivis masyaarakat sipil mendatangi Kantor Komnas HAM, Kamis (30/8) sore.
Ia menegaskan, kalaupun ternyata diperpanjang, proses yang dilewati sebelumnya sampai keluarnya keputusan politik perpanjangan sudah cukup memberi gambaran betapa pemerintah dan DPR tidak mau peduli dengan isu-isu HAM.
"Bagaimana mungkin, mengurus soal-soal seperti ini saja harus berlarut-larut? Ini sikap arogan DPR dan ketidakpedulian SBY saja. Jadinya ya institusi ini antara ada dan tiada," imbuh Boni.
Ia membeberkan bagaimana SBY merespons isu-sisu HAM selama masa kepemimpinan dia, seperti beratus-ratus surat yang dilayangkan oleh Ibunda korban tragedi Trisakti, Sumarsih, kepada SBY yang satu pun tidak direspons.
"Tetapi giliran satu surat Nazaruddin saat itu, kok SBY cepat sekali meresponsnya. Ini kan jelas sikap semacam ini tidak punya keberpihakan pada HAM," imbuhnya.
Hal yang sama terjadi pada DPR yang menurut mahasiswa ilmu politik Universitas Humboldt, Jerman, ini terlalu sibuk dengan agenda politik taktis mereka sendiri.
"Kalau saja ingar-bingar politik praktis tidak menguasai senayan, maka soal-soal seperto seleksi Komisioner ini tidak boleh lalai. Kondisi ini sangat mengerikan, karena justru lembaga negara yang diharapkan publik mengurus soal HAM secara sistematis diabaikan oleh Pemerintah dan DPR," tandas Boni. (SW/OL-10)
JAKARTA--MICOM: Meskipun Presiden sudah mengeluarkan keputusan presiden soal perpanjangan masa jabatan Komisioner Komnas HAM periode 2007-2012, aroma ketidakseriusan pemerintah dan juga DPR terhadap isu HAM di Tanah Air makin jelas tercium.
"Situasi yang dialami oleh Komnas HAM saat ini adalah bagian kecil dari sikap dan niat pemerintah dan juga DPR yang tidak cukup responsif apalagi peduli dengan soal-soal HAM di Tanah Air," tegas pengamat politik UI Boni Hargens yang bersama aktivis masyaarakat sipil mendatangi Kantor Komnas HAM, Kamis (30/8) sore.
Ia menegaskan, kalaupun ternyata diperpanjang, proses yang dilewati sebelumnya sampai keluarnya keputusan politik perpanjangan sudah cukup memberi gambaran betapa pemerintah dan DPR tidak mau peduli dengan isu-isu HAM.
"Bagaimana mungkin, mengurus soal-soal seperti ini saja harus berlarut-larut? Ini sikap arogan DPR dan ketidakpedulian SBY saja. Jadinya ya institusi ini antara ada dan tiada," imbuh Boni.
Ia membeberkan bagaimana SBY merespons isu-sisu HAM selama masa kepemimpinan dia, seperti beratus-ratus surat yang dilayangkan oleh Ibunda korban tragedi Trisakti, Sumarsih, kepada SBY yang satu pun tidak direspons.
"Tetapi giliran satu surat Nazaruddin saat itu, kok SBY cepat sekali meresponsnya. Ini kan jelas sikap semacam ini tidak punya keberpihakan pada HAM," imbuhnya.
Hal yang sama terjadi pada DPR yang menurut mahasiswa ilmu politik Universitas Humboldt, Jerman, ini terlalu sibuk dengan agenda politik taktis mereka sendiri.
"Kalau saja ingar-bingar politik praktis tidak menguasai senayan, maka soal-soal seperto seleksi Komisioner ini tidak boleh lalai. Kondisi ini sangat mengerikan, karena justru lembaga negara yang diharapkan publik mengurus soal HAM secara sistematis diabaikan oleh Pemerintah dan DPR," tandas Boni. (SW/OL-10)
Tuesday, August 28, 2012
Konflik Sampang Jangan Sampai Merembet ke Daerah Lain
JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Abdul Hakim, mengimbau agar pemerintah pusat segera mengambil alih penanganan konflik Syiah di Sampang, Madura. Pemerintah pusat harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan konflik tersebut agar konflik serupa tidak merembet ke wilayah lain di Indonesia.
"Kerusuhan ini telah kali kedua terjadi di Sampang, tetapi tidak ada campur tangan yang serius dari pemerintah pusat dalam meredam konflik ini. Apabila ada penanganan dini dari pemerintah pusat, kemungkinan tidak terjadi lagi kerusuhan lanjutan di Sampang saat ini," ujar Abdul Hakim, yang juga anggota Komisi VIII DPR, di Jakarta, Selasa (28/8/2012).
"Kami berharap pemerintah pusat dapat segera mengambil alih penanganan konflik Syiah di Sampang, Madura. Jangan hanya melempar tanggung jawab ke pemerintah daerah saja dan membiarkan pemerintah daerah sendiri mencari jalan keluar konflik tersebut. Seharusnya kalau pemerintah pusat dengan serius ikut menangani konflik ini, mungkin tidak terjadi lagi kerusuhan di Sampang," ujar Abdul Hakim.
Abdul Hakim menambahkan, pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) yang independen adalah langkah awal yang harus dilaksanakan oleh pemerintah pusat dalam penanganan konflik Syiah di Sampang. TPF bertugas mencari fakta-fakta dan informasi yang akurat di masyarakat mengenai pemicu konflik antara Syiah dan Sunni di Sampang. Hasil temuan TPF di lapangan bisa dijadikan masukan bagi perumusan jalan keluar konflik tersebut oleh pemerintah pusat.
Pemerintah pusat juga harus secepatnya menjembatani proses perdamaian dengan mengundang kedua belah pihak yang bertikai. Percepatan perdamaian di antara kedua belah pihak bisa segera meredam gejolak di masyarakat. Pemerintah pusat seharusnya dapat mengambil pelajaran dari kejadian kerusuhan di Sampang ini supaya pemerintah mempunyai tolok ukur dalam penyelesain konflik agama di daerah lain.
"Konflik Syiah di Sampang ini harusnya dapat dijadikan pelajaran bagi pemerintah. Seharusnya pemerintah dapat menangani konflik agama di masyarakat dengan baik dan tuntas tanpa ada lagi konflik-konflik lanjutan. Terkesan pemerintah tidak mempunyai prosedural yang baku dalam menangani permasalahan di daerah rawan konflik," ujar Abdul Hakim.
Selain itu, pemerintah juga harus memberikan perhatian terhadap pengungsi korban kerusuhan di Sampang. Pemerintah harus memberikan tempat yang baik bagi pengungsi dan memperhatikan keamanan mereka. Penempatan posko-posko di daerah konflik juga harus dilaksanakan oleh pemerintah agar keamanan di daerah konflik dapat segera kondusif.
Editor :Tjahja Gunawan Diredja
"Kerusuhan ini telah kali kedua terjadi di Sampang, tetapi tidak ada campur tangan yang serius dari pemerintah pusat dalam meredam konflik ini. Apabila ada penanganan dini dari pemerintah pusat, kemungkinan tidak terjadi lagi kerusuhan lanjutan di Sampang saat ini," ujar Abdul Hakim, yang juga anggota Komisi VIII DPR, di Jakarta, Selasa (28/8/2012).
"Kami berharap pemerintah pusat dapat segera mengambil alih penanganan konflik Syiah di Sampang, Madura. Jangan hanya melempar tanggung jawab ke pemerintah daerah saja dan membiarkan pemerintah daerah sendiri mencari jalan keluar konflik tersebut. Seharusnya kalau pemerintah pusat dengan serius ikut menangani konflik ini, mungkin tidak terjadi lagi kerusuhan di Sampang," ujar Abdul Hakim.
Abdul Hakim menambahkan, pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) yang independen adalah langkah awal yang harus dilaksanakan oleh pemerintah pusat dalam penanganan konflik Syiah di Sampang. TPF bertugas mencari fakta-fakta dan informasi yang akurat di masyarakat mengenai pemicu konflik antara Syiah dan Sunni di Sampang. Hasil temuan TPF di lapangan bisa dijadikan masukan bagi perumusan jalan keluar konflik tersebut oleh pemerintah pusat.
Pemerintah pusat juga harus secepatnya menjembatani proses perdamaian dengan mengundang kedua belah pihak yang bertikai. Percepatan perdamaian di antara kedua belah pihak bisa segera meredam gejolak di masyarakat. Pemerintah pusat seharusnya dapat mengambil pelajaran dari kejadian kerusuhan di Sampang ini supaya pemerintah mempunyai tolok ukur dalam penyelesain konflik agama di daerah lain.
"Konflik Syiah di Sampang ini harusnya dapat dijadikan pelajaran bagi pemerintah. Seharusnya pemerintah dapat menangani konflik agama di masyarakat dengan baik dan tuntas tanpa ada lagi konflik-konflik lanjutan. Terkesan pemerintah tidak mempunyai prosedural yang baku dalam menangani permasalahan di daerah rawan konflik," ujar Abdul Hakim.
Selain itu, pemerintah juga harus memberikan perhatian terhadap pengungsi korban kerusuhan di Sampang. Pemerintah harus memberikan tempat yang baik bagi pengungsi dan memperhatikan keamanan mereka. Penempatan posko-posko di daerah konflik juga harus dilaksanakan oleh pemerintah agar keamanan di daerah konflik dapat segera kondusif.
Editor :Tjahja Gunawan Diredja
Data PPATK: DKI Jakarta Pemprov Terkorup, Babel Terakhir
M Iqbal - detikNews
Jakarta PPATK mengungkap temuan soal pemerintah provinsi yang diduga paling marak melakukan tindak pidana korupsi. Dari data yang dilansir, Pemerintah provinsi DKI Jakarta berada di urutan pertama dengan presentase 46,7 persen, dan urutan ahir Kepulauan Bangka Belitung 0,1 persen.
"Jakarta paling tinggi tingkat korupsinya dilihat data per-provinsi," ujar Wakil Kepala PPATK, Agus Santoso, dalam pesan singkat kepada detikcom, Senin (27/8/2012).
Menurutnya, yang dimaksud dengan tingkat korupsi di Jakarta banyak modusnya. Salah satunya dilakukan dengan cara memindahkan dana anggaran APBD ke rekening pribadi para bendaharawan.
"Tidak terlalu spesifik seperti itu (memindahkan anggaran APBD ke rekening pribadi). Karena yang dimaksud dengan tingkat korupsi di Jakarta kan juga termasuk yang bukan dilakukan bendaharawan," tuturnya.
Atas temuan ini, pihaknya menyatakan telah melakukan koordinasi dengan kejaksaan terutama untuk dugaan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal korupsi.
"Hasil analisis untuk dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan tindak pidana asal korupsi yang dilakukan oleh bukan penyelenggara negara disampaikan ke kejaksaan. Selain itu, khusus untuk membenahi masalah ini PPATK juga sudah mengkomunikasikannya dengan Kemendagri, Kemenkeu dan Kemenpan," jelas Agus.
Selain itu, sebagai tindak lanjut atas temuan ini PPATK perlu ada pembenahan dalam sistem anggaran dan kebutuhan pembenahan dalam sistem pengawasan melekat (waskat).
"Karena ada loophole (lubang) di sistem anggaran yang harus dibenahi, ada kebutuhan pembenahan sistem waskat, dan perlunya pembinaan integritas para bendaharawan," ucapnya.
Dari lansiran PPATK yang diterima detikcom, pemerintah provinsi yang paling tinggi diduga melakukan tindak pidana korupsi adalah Pemprov DKI Jakarta berada di urutan pertama dengan 46,7 persen, menyusul Jawa Barat dengan 6,0 persen, Kalimantan Timur 5,7 persen, Jawa Timur 5,2 persen, Jambi 4,1 persen, Sumatera Utara 4,0 persen, Jawa Tengah 3,5 persen, Kalimantan Selatan 2,1 persen, Nangroe Aceh Darussalam 2,1 persen, Papua 1,8 persen,
Kemudian Sumatera Selatan 1,5 persen, Sulawesi Selatan 1,5 persen, Riau 1,5 persen, Kepulauan Riau 1,3 persen, Banten 1,3 persen, Lampung 1,2 persen, DI Yogyakarta 1,1 persen, Maluku 1,1 persen, Sulawesi Utara 0,9 persen, Kalimantan Barat 0,8 persen, Nusa Tenggara Timur 0,8 persen, Bengkulu 0,8 persen, Sumatera Barat 0,7 persen, Bali 0,7 persen, Kalimantan Tengah 0,6 persen, Sulwesi Tenggara 0,6 persen, Nusa tenggara Barat 0,5 persen, Papua Barat 0,5 persen, Maluku Utara 0,4 persen, Sulawei Tengah 0,4 persen, Sulawesi Barat 0,3 persen, dan terakhir Kepulauan Bangka Belitung 0,1 persen,
(iqb/mad)
Friday, August 24, 2012
Friday, August 17, 2012
Dirgahayu Republik Indonesia 67
Syalom.
GMKI Komisariat Unpad mengucapkan Dirgahayu Republik Indonesia ke 67.
Maju dan bangkit terus bangsaku tercinta dari setiap permasalahan yang ada, jadilah bangsa yang besar dan terhormat di mata dunia selamanya.
UOUS — at GMKI Cabang Bandung, Dago 109.
GMKI Komisariat Unpad mengucapkan Dirgahayu Republik Indonesia ke 67.
Maju dan bangkit terus bangsaku tercinta dari setiap permasalahan yang ada, jadilah bangsa yang besar dan terhormat di mata dunia selamanya.
UOUS — at GMKI Cabang Bandung, Dago 109.
Wednesday, July 4, 2012
PELANTIKAN PENGURUS KOMISARIAT UNPAD MASA BAKTI 2012-2013
Selamat atas dilantiknya para Pengurus Komisariat UNPAD ke - IX masa bakti 2012-2013 bertempat di Aula Wisma Sejahtera, SC GMKI Cabang Bandung.
Tinggi iman, tinggi ilmu, tinggi pengabdian.
UOUS
Tinggi iman, tinggi ilmu, tinggi pengabdian.
UOUS
Wednesday, May 30, 2012
Diskusi Publik GMKI Komisariat UNPAD
Syalom.
GMKI Komisariat Unpad mengundang rekan-rekan sekalian dalam Diskusi Eksternal dalam rangka Hari Kelahiran Pancasila dengan topik "Peran Pemuda Gereja dalam Paradigma Pluralisme Bangsa" pada Jumat, 1 Juni 2012 pukul 17.30 WIB bertempat di SC GMKI Cab Bandung (Depan FO Donatello, Dago).
Pembicara:
1. Albert Yosua Bonasahat Sigalingging, S.H., LL.M (Juru bicara GKI Yasmin)
2. Amos Sukamto, D.Th (Dosen STT Inti)
3. Sahat Martin Philip Sinurat (Ketua GMKI Cabang Bandung)
Diharapkan kehadiran rekan-rekan semua dan mari ajak teman-teman lain untuk berpartisipasi dalam diskusi ini.
*FREE.
UOUS
GMKI Komisariat Unpad mengundang rekan-rekan sekalian dalam Diskusi Eksternal dalam rangka Hari Kelahiran Pancasila dengan topik "Peran Pemuda Gereja dalam Paradigma Pluralisme Bangsa" pada Jumat, 1 Juni 2012 pukul 17.30 WIB bertempat di SC GMKI Cab Bandung (Depan FO Donatello, Dago).
Pembicara:
1. Albert Yosua Bonasahat Sigalingging, S.H., LL.M (Juru bicara GKI Yasmin)
2. Amos Sukamto, D.Th (Dosen STT Inti)
3. Sahat Martin Philip Sinurat (Ketua GMKI Cabang Bandung)
Diharapkan kehadiran rekan-rekan semua dan mari ajak teman-teman lain untuk berpartisipasi dalam diskusi ini.
*FREE.
UOUS
Tuesday, May 29, 2012
Permasalahan TKI
Materi Diskusi Internal
GMKI Komisariat UNPAD
Topik:
Tenaga Kerja Indonesia: Problema dan Solusi?
Oleh: Ericko Sinuhaji (FH UNPAD’08)
Pahlawan devisa. Sebutan ini pasti sudah sangat dikenal. Ya, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan pihak yang disematkan julukan ini. Penyebabnya tidak dapat dibantah lagi. Mereka menyumbang pemasukan yang sangat besar buat negara. Untuk 2011, pengiriman uang dari TKI selama kuartal pertama 2011 mencapai US$ 1,6 miliar atau sekitar Rp 14 triliun. Rata-rata TKI mengirimkan uang US$500 juta atau sekitar Rp 4,5 triliun per bulan ke Indonesia sebagai pemasukan bukan migas. Dengan kontribusi yang luar biasa ini, menjadi aneh saat TKI hingga saat ini masih belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah terkait perlindungan dan penempatan mereka.
Kita tidak usah menutup mata terhadap apa yang terjadi. Banyak sekali kasus yang terjadi yang belum tertangani hingga saat ini dan jumlahnya terus bertambah. Sebagai contoh, kasus penembakan terhadap TKI yang baru-baru ini terjadi terhadap tiga orang asal NTB. Bahkan kasus ini sampai mensinyalir telah terjadi pencurian organ tubuh walaupun belum jelas kebenarannya. Belum lagi jika kita ungkap “cacat” dalam kasus-kasus seperti pemenggalan Ruyati dan seterusnya.
Keseluruhan hal tersebut lah yang bisa menggiring kita pada pertanyaan apakah sebenarnya negara abai terhadap hak-hak TKI? Apakah negara hanya ada saat menerima keuntungan dari kerja keras TKI dan menghilang saat mereka kesulitan? Kita harap jawabannya bukan “ya”.
Banyak sekali aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam permasalahan TKI. Akan sangat memakan waktu jika pembahasan itu dilakukan terhadap seluruh aspek yang ada. Untuk itulah penulis membatasi aspek yang akan dibahas dalam hal ini. Menurut Friedmann, dalam menganalisa hukum ada tiga aspek yang harus dilihat, yaitu structure, substance, dan culture. Jika kita bandingkan dengan definisi menurut Prof. Mochtar (asas, lembaga, kaidah dan proses), maka aspek-aspek yang “penting” untuk diperhatikan itu melingkupi peraturan, lembaga yang menangani, dan fenomena-fenomena yang terjadi.
Untuk itu ada beberapa pertanyaan yang dapat digunakan sebagai bahan diskusi kita kali ini:
1. Pihak-pihak mana sajakah yang terkait dalam permasalahan seputar TKI ini?
2. Bagaimanakah sebenarnya proses pengiriman dan perlindungan TKI dari awal hingga akhir?
3. Adakah pihak yang bersalah atas permasalahan ini?
4. Bagaimanakah solusi atas permasalahan seputar TKI ini?
GMKI Komisariat UNPAD
Topik:
Tenaga Kerja Indonesia: Problema dan Solusi?
Oleh: Ericko Sinuhaji (FH UNPAD’08)
Pahlawan devisa. Sebutan ini pasti sudah sangat dikenal. Ya, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan pihak yang disematkan julukan ini. Penyebabnya tidak dapat dibantah lagi. Mereka menyumbang pemasukan yang sangat besar buat negara. Untuk 2011, pengiriman uang dari TKI selama kuartal pertama 2011 mencapai US$ 1,6 miliar atau sekitar Rp 14 triliun. Rata-rata TKI mengirimkan uang US$500 juta atau sekitar Rp 4,5 triliun per bulan ke Indonesia sebagai pemasukan bukan migas. Dengan kontribusi yang luar biasa ini, menjadi aneh saat TKI hingga saat ini masih belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah terkait perlindungan dan penempatan mereka.
Kita tidak usah menutup mata terhadap apa yang terjadi. Banyak sekali kasus yang terjadi yang belum tertangani hingga saat ini dan jumlahnya terus bertambah. Sebagai contoh, kasus penembakan terhadap TKI yang baru-baru ini terjadi terhadap tiga orang asal NTB. Bahkan kasus ini sampai mensinyalir telah terjadi pencurian organ tubuh walaupun belum jelas kebenarannya. Belum lagi jika kita ungkap “cacat” dalam kasus-kasus seperti pemenggalan Ruyati dan seterusnya.
Keseluruhan hal tersebut lah yang bisa menggiring kita pada pertanyaan apakah sebenarnya negara abai terhadap hak-hak TKI? Apakah negara hanya ada saat menerima keuntungan dari kerja keras TKI dan menghilang saat mereka kesulitan? Kita harap jawabannya bukan “ya”.
Banyak sekali aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam permasalahan TKI. Akan sangat memakan waktu jika pembahasan itu dilakukan terhadap seluruh aspek yang ada. Untuk itulah penulis membatasi aspek yang akan dibahas dalam hal ini. Menurut Friedmann, dalam menganalisa hukum ada tiga aspek yang harus dilihat, yaitu structure, substance, dan culture. Jika kita bandingkan dengan definisi menurut Prof. Mochtar (asas, lembaga, kaidah dan proses), maka aspek-aspek yang “penting” untuk diperhatikan itu melingkupi peraturan, lembaga yang menangani, dan fenomena-fenomena yang terjadi.
Untuk itu ada beberapa pertanyaan yang dapat digunakan sebagai bahan diskusi kita kali ini:
1. Pihak-pihak mana sajakah yang terkait dalam permasalahan seputar TKI ini?
2. Bagaimanakah sebenarnya proses pengiriman dan perlindungan TKI dari awal hingga akhir?
3. Adakah pihak yang bersalah atas permasalahan ini?
4. Bagaimanakah solusi atas permasalahan seputar TKI ini?
Friday, May 4, 2012
Hubungan Antara Presiden dan Wakil Presiden
-Kuliah Umum HTLN oleh Bapak Jusuf Kalla-
Konstitusi telah mengatur semua tentang tugas dan wewenang Presiden maupun Wakil Presiden serta tata cara mengenai pengangkatan dan pemecatannya. Perlu diingat bahwa Indonesia telah memiliki 6 Presiden, yaitu: Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid (Gusdur), Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan 11 Wakil Presiden, yaitu mulai dari M. Hatta sampai Boediono.
Untuk menjadi Wakil Presiden, haruslah selangkah di belakang Presiden dan 1 ton suara di bawah Presiden. Dalam UUD 1945 sangat sederhana mengatur tentang Presiden dan Wakil Presiden, dimana Wakil Presiden hanya bertugas mendampingi Presiden selama kepemimpinannya. Di pemerintahan orde lama dan baru, Wakil Presiden tergantung dari Presidennya, sedangkan sekarang keduanya harus memiliki kemampuan untuk mendapatkan suara dari rakyat.
Di zamannya, Bung Karno 9 tahun memimpin tanpa Wakil Presiden, karena sejak dulu Presiden dan Wakil Presiden tidak kompak. Harus diketahui bahwa tidak ada Wakil Presiden yang menjabat lebih dari 1 kali kepemimpinan.
Jadi, mengapa Wakil Presiden tidak ada yang lebih dari 1 kali menjabat? Kemungkinan terbesar adalah hubungan Presiden dan Wakil Presiden tidak pernah ada yang kompak.
Tugas Wakil Presiden hanya membantu Presiden dalam tugasnya (berdasarkan UUD 1945) dan mewakili Presiden apabila sedang di luar negeri. Membantu Presiden, tetapi Wakil Presiden tidak memiliki kewenangan yang besar, kewenangan yang dimaksud adalah dalam hal kewenangan tanda tangan mengenai Surat Keputusan. Kita hanya mendengar Keputusan Presiden, Gubernur, dan sebagainya, tetapi tidak pernah mendengar Keputusan Wakil Presiden bukan...
Cuma ada 2 keputusan Wapres semasa saya menjabat Wakil Presiden, ucap Jusuf Kalla, yaitu: Nomor Keputusan X dan Keputusan yang salah kop surat.
Tugas Wakil Presiden seterusnya yaitu menggantu Presiden dalam keadaan terpaksa, seperti contoh Habibie yang menggantikan Soeharto dan Megawati yang menggantikan Gusdur. Jadi, bagaimana Wakil Presiden membantu Presiden dengan benar, karena membantu juga harus dengan kewenangan?
1. Tergantung persetujuan awal dari Presiden dan Wakil Presiden (komitmen awal);
2. Tergantung pada kemampuan masing-masing Presiden dan Wakil Presiden, tetapi harus dibarengi dengan formal;
3. Membuat notulen, Wakil Presiden tidak boleh duduk manis karena melanggar Konstitusi, serta;
4. Dibarengi dengan cara yang fair.
Selain itu, perlu adanya komunikasi politik. Komunikasi politik agar berjalan, dilakukan dengan menjelaskan tujuan, cara dan arah, serta jangan ada yang mengambil keuntungan atau kepentingan pribadi. Hubungan Presiden dan Wakil Presiden kuncinya ada di komunikasi politik dan komunikasi politik itu pun tergantung dari tingkat perhatian dari para pihak yang bersangkutan.
Penulis: Alfonsius JP Siringoringo
Konstitusi telah mengatur semua tentang tugas dan wewenang Presiden maupun Wakil Presiden serta tata cara mengenai pengangkatan dan pemecatannya. Perlu diingat bahwa Indonesia telah memiliki 6 Presiden, yaitu: Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid (Gusdur), Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan 11 Wakil Presiden, yaitu mulai dari M. Hatta sampai Boediono.
Untuk menjadi Wakil Presiden, haruslah selangkah di belakang Presiden dan 1 ton suara di bawah Presiden. Dalam UUD 1945 sangat sederhana mengatur tentang Presiden dan Wakil Presiden, dimana Wakil Presiden hanya bertugas mendampingi Presiden selama kepemimpinannya. Di pemerintahan orde lama dan baru, Wakil Presiden tergantung dari Presidennya, sedangkan sekarang keduanya harus memiliki kemampuan untuk mendapatkan suara dari rakyat.
Di zamannya, Bung Karno 9 tahun memimpin tanpa Wakil Presiden, karena sejak dulu Presiden dan Wakil Presiden tidak kompak. Harus diketahui bahwa tidak ada Wakil Presiden yang menjabat lebih dari 1 kali kepemimpinan.
Jadi, mengapa Wakil Presiden tidak ada yang lebih dari 1 kali menjabat? Kemungkinan terbesar adalah hubungan Presiden dan Wakil Presiden tidak pernah ada yang kompak.
Tugas Wakil Presiden hanya membantu Presiden dalam tugasnya (berdasarkan UUD 1945) dan mewakili Presiden apabila sedang di luar negeri. Membantu Presiden, tetapi Wakil Presiden tidak memiliki kewenangan yang besar, kewenangan yang dimaksud adalah dalam hal kewenangan tanda tangan mengenai Surat Keputusan. Kita hanya mendengar Keputusan Presiden, Gubernur, dan sebagainya, tetapi tidak pernah mendengar Keputusan Wakil Presiden bukan...
Cuma ada 2 keputusan Wapres semasa saya menjabat Wakil Presiden, ucap Jusuf Kalla, yaitu: Nomor Keputusan X dan Keputusan yang salah kop surat.
Tugas Wakil Presiden seterusnya yaitu menggantu Presiden dalam keadaan terpaksa, seperti contoh Habibie yang menggantikan Soeharto dan Megawati yang menggantikan Gusdur. Jadi, bagaimana Wakil Presiden membantu Presiden dengan benar, karena membantu juga harus dengan kewenangan?
1. Tergantung persetujuan awal dari Presiden dan Wakil Presiden (komitmen awal);
2. Tergantung pada kemampuan masing-masing Presiden dan Wakil Presiden, tetapi harus dibarengi dengan formal;
3. Membuat notulen, Wakil Presiden tidak boleh duduk manis karena melanggar Konstitusi, serta;
4. Dibarengi dengan cara yang fair.
Selain itu, perlu adanya komunikasi politik. Komunikasi politik agar berjalan, dilakukan dengan menjelaskan tujuan, cara dan arah, serta jangan ada yang mengambil keuntungan atau kepentingan pribadi. Hubungan Presiden dan Wakil Presiden kuncinya ada di komunikasi politik dan komunikasi politik itu pun tergantung dari tingkat perhatian dari para pihak yang bersangkutan.
Penulis: Alfonsius JP Siringoringo
Monday, April 23, 2012
Belajar dari sosok Ki Hajar Dewantara
Oleh: Alfonsius JP Siringoringo
Siapa yang tidak kenal sosok satu ini di Indonesia? Raden Mas Soewardi Soerjadiningrat atau lebih akrab disebut Ki Hajar Dewantara merupakan salah satu pelopor pendidikan bagi bangsa Indonesia pada zaman penjajahan kolonial Belanda. Selain menjadi tokoh pendidikan Indonesia, beliau juga merupakan tokoh pergerakan nasional bagi bangsa ini di zamannya, politisi serta perintis dunia jurnalistik Indonesia. Pria yang lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 ini berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Bahkan karena besarnya jasa beliau terhadap pendidikan bagi bangsa ini, membuat hari kelahiran beliau pun diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional di Indonesia.
Bapak pendidikan Indonesia yang mendapat gelar doktor honoriscausa dari Universitas Gadjah Mada ini, merupakan pendiri dari perguruan Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi kaum pribumi untuk mengecap indahnya bangku pendidikan. Selain itu, beliau juga turut serta dalam pendirian Budi Utomo bersama kedua rekannya Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo.
Di masa mudanya, beliau menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda), setelah itu melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) namun tidak sampai tamat dikarenakan sakit. Kemudian beliau bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, seperti Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Di masanya, beliau merupakan salah satu penulis handal, karena tulisan-tulisannya begitu komunikatif serta tajam dengan semangat antikolonial. Artikel yang pernah beliau tulis berjudul “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga" dan "Seandainya Aku Seorang Belanda" (Als ik eens Nederlander was), yang dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker tahun 1913. Isi artikel ini adalah kritik tajam terhadap pemerintah kolonial. Akibat dari tulisannya tersebut, ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka atas permintaan beliau sendiri. Namun, kedua rekannya yang akrab disebut dengan tiga serangkai bersama beliau (Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo) memprotes hal tersebut dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda pada tahun 1913.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, beliau juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908, beliau aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia, terutama Jawa pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara, serta membidani Kongres pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta. Karena, dalam pengasingannya di Belanda, beliau memanfaatkannya untuk aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia. Dari sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga akhirnya memperoleh Europeesche Akte, yaitu suatu ijazah pendidikan yang bergengsi dan kelak menjadi dasar dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya yaitu Perguruan Nasional Tamansiswa.
Dalam Pemerintahan Indonesia pun, beliau merupakan Menteri Pengajaran Pertama dalam kabinet pertama Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soekarno. Bagian dari semboyan sistem pendidikan ciptaan beliau, yaitu tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia hingga saat ini.
Kita sangat rindu menanti Ki Hajar Dewantara berikutnya yang peduli akan pendidikan dan nasib bangsa ini, yang lebih banyak berbuat dan bertindak dari pada hanya sekedar berbicara panjang lebar mengkritik permasalahan bangsa yang ada tanpa berbuat apa-apa untuk kemajuan bangsa kita. Mari kita manfaatkan masa muda kita, berbuatlah untuk bangsa ini, mulailah dari hal-hal kecil, yang biasa dilupakan oleh orang-orang di sekitar anda. Yakinlah tidak ada suatu tindakan positif yang sia-sia jika niat kita melakukannya dengan hati yang ikhlas dan tanpa mengharapkan balasan. "Memang sulit untuk mengatakan apa yang tidak mungkin, sebab angan-angan yang kemarin menjadi harapan hari ini, dan menjadi kenyataan hari esok"(Robert H.Goddard).
Tinggi iman, Tinggi ilmu, Tinggi Pengabdian.
UOUS
Siapa yang tidak kenal sosok satu ini di Indonesia? Raden Mas Soewardi Soerjadiningrat atau lebih akrab disebut Ki Hajar Dewantara merupakan salah satu pelopor pendidikan bagi bangsa Indonesia pada zaman penjajahan kolonial Belanda. Selain menjadi tokoh pendidikan Indonesia, beliau juga merupakan tokoh pergerakan nasional bagi bangsa ini di zamannya, politisi serta perintis dunia jurnalistik Indonesia. Pria yang lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 ini berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Bahkan karena besarnya jasa beliau terhadap pendidikan bagi bangsa ini, membuat hari kelahiran beliau pun diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional di Indonesia.
Bapak pendidikan Indonesia yang mendapat gelar doktor honoriscausa dari Universitas Gadjah Mada ini, merupakan pendiri dari perguruan Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi kaum pribumi untuk mengecap indahnya bangku pendidikan. Selain itu, beliau juga turut serta dalam pendirian Budi Utomo bersama kedua rekannya Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo.
Di masa mudanya, beliau menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda), setelah itu melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) namun tidak sampai tamat dikarenakan sakit. Kemudian beliau bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, seperti Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Di masanya, beliau merupakan salah satu penulis handal, karena tulisan-tulisannya begitu komunikatif serta tajam dengan semangat antikolonial. Artikel yang pernah beliau tulis berjudul “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga" dan "Seandainya Aku Seorang Belanda" (Als ik eens Nederlander was), yang dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker tahun 1913. Isi artikel ini adalah kritik tajam terhadap pemerintah kolonial. Akibat dari tulisannya tersebut, ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka atas permintaan beliau sendiri. Namun, kedua rekannya yang akrab disebut dengan tiga serangkai bersama beliau (Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo) memprotes hal tersebut dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda pada tahun 1913.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, beliau juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908, beliau aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia, terutama Jawa pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara, serta membidani Kongres pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta. Karena, dalam pengasingannya di Belanda, beliau memanfaatkannya untuk aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia. Dari sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga akhirnya memperoleh Europeesche Akte, yaitu suatu ijazah pendidikan yang bergengsi dan kelak menjadi dasar dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya yaitu Perguruan Nasional Tamansiswa.
Dalam Pemerintahan Indonesia pun, beliau merupakan Menteri Pengajaran Pertama dalam kabinet pertama Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soekarno. Bagian dari semboyan sistem pendidikan ciptaan beliau, yaitu tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia hingga saat ini.
Kita sangat rindu menanti Ki Hajar Dewantara berikutnya yang peduli akan pendidikan dan nasib bangsa ini, yang lebih banyak berbuat dan bertindak dari pada hanya sekedar berbicara panjang lebar mengkritik permasalahan bangsa yang ada tanpa berbuat apa-apa untuk kemajuan bangsa kita. Mari kita manfaatkan masa muda kita, berbuatlah untuk bangsa ini, mulailah dari hal-hal kecil, yang biasa dilupakan oleh orang-orang di sekitar anda. Yakinlah tidak ada suatu tindakan positif yang sia-sia jika niat kita melakukannya dengan hati yang ikhlas dan tanpa mengharapkan balasan. "Memang sulit untuk mengatakan apa yang tidak mungkin, sebab angan-angan yang kemarin menjadi harapan hari ini, dan menjadi kenyataan hari esok"(Robert H.Goddard).
Tinggi iman, Tinggi ilmu, Tinggi Pengabdian.
UOUS
Sunday, March 18, 2012
Momentum Kenaikan BBM Dinilai Tak Tepat
Jakarta -- Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PDIP Arif Budimanta menuturkan, secara konstitusi setiap rakyat di Indonesia berhak atas penghidupan yang layak. Kehidupan yang layak ini tak melihat kelas sosial.
Hal ini diutarakan Arif melihat alasan yang diberikan pemerintah untuk menaikan harga BBM. Pemerintah menganggap subsidi BBM saat ini tak tepat sasaran sebab lebih banyak dinikmati oleh kalangan yang sebenarnya cukup mampu. Untuk itu pemerintah menganggap opsi kenaikan BBM tepat untuk masa sekarang dimana harga minyak mentah dunia juga sedang mengalami kenaikan.
"Disini pemerintah seperti ingin berbagi beban dengan rakyat," ujar Arif dalam acara Polemik Sindo Radio di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (17/3).
Arif, menambahkan kenaikan harga BBM akan berimbas pada kenaikan harga bahan kebutuhan pokok nantinya. Meski kenaikan BBM oleh pemerintah direncanakan hanya berlangsung selama 9 bulan. Namun Arif menyangsingkan harga bahan kebutuhan pokok yang ikut naik bersama harga BBM akan turun setelah 9 bulan mendatang.
Arif juga membantah jika pengurangan subsidi BBM dapat meringankan bagi APBN negara. Sebab menurutnya penambahan pendapatan negara menurut RUU APBNP 2012 ada dari beberapa sumber yang bisa dimanfaatkan pemerintah. Seperti PPH Migas dan penerimaan SDA Minyak bumi lebih kurang Rp40 triliun.
Jika pun harus menaikan harga BBM Arif menilai pemerintah mengambil momentum yang tak tepat. Apabila ada penambahan dari migas, dan penerimaan pendapatan lain seperti pajak perdagangan internasional Rp 4 triliun, hasil penghematan anggaran K/L sebesar Rp18 triliun. Dana tersebut sudah lebih dari cukup untuk membiayai subsidi BBM dan LPG dari Rp123,6 triliun menjadi Rp137,4 triliun." Saat ini momentumnya tak tepat, pemerintah masih punya uang lebih dari cukup untuk menutupi kenaikan harga minyak dunia," ujar dia.
Selain itu Arif meminta pemerintah untuk memperbanyak Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas. Sebagai alternatif bahan bakar bagi masyarakat. "Pada era orde baru kita punya 47 SPBG, tapi kenapa sekarang hanya punya 4 yang aktif," Ujarnya.
Selain itu ia juga berharap pemerintah segera memperbaiki sarana pra sarana dan infrastruktur agar peghasilan masyarakat bisa meningkat. Dengan begitu maka akan meningkatkan daya beli masyarakat. Jika daya beli masyarakat telah tinggi barulah kenaikan BBM dinilai tepat untuk diterapkan.
Sementara saat disinggung mengenai masa periode Megawati yang juga pernah menaikan harga BBM, Arif mengatakan masa tersebut adalah periode krisis yang tidak bisa disamakan dengan periode saat ini.
Sumber: Republika
Hal ini diutarakan Arif melihat alasan yang diberikan pemerintah untuk menaikan harga BBM. Pemerintah menganggap subsidi BBM saat ini tak tepat sasaran sebab lebih banyak dinikmati oleh kalangan yang sebenarnya cukup mampu. Untuk itu pemerintah menganggap opsi kenaikan BBM tepat untuk masa sekarang dimana harga minyak mentah dunia juga sedang mengalami kenaikan.
"Disini pemerintah seperti ingin berbagi beban dengan rakyat," ujar Arif dalam acara Polemik Sindo Radio di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (17/3).
Arif, menambahkan kenaikan harga BBM akan berimbas pada kenaikan harga bahan kebutuhan pokok nantinya. Meski kenaikan BBM oleh pemerintah direncanakan hanya berlangsung selama 9 bulan. Namun Arif menyangsingkan harga bahan kebutuhan pokok yang ikut naik bersama harga BBM akan turun setelah 9 bulan mendatang.
Arif juga membantah jika pengurangan subsidi BBM dapat meringankan bagi APBN negara. Sebab menurutnya penambahan pendapatan negara menurut RUU APBNP 2012 ada dari beberapa sumber yang bisa dimanfaatkan pemerintah. Seperti PPH Migas dan penerimaan SDA Minyak bumi lebih kurang Rp40 triliun.
Jika pun harus menaikan harga BBM Arif menilai pemerintah mengambil momentum yang tak tepat. Apabila ada penambahan dari migas, dan penerimaan pendapatan lain seperti pajak perdagangan internasional Rp 4 triliun, hasil penghematan anggaran K/L sebesar Rp18 triliun. Dana tersebut sudah lebih dari cukup untuk membiayai subsidi BBM dan LPG dari Rp123,6 triliun menjadi Rp137,4 triliun." Saat ini momentumnya tak tepat, pemerintah masih punya uang lebih dari cukup untuk menutupi kenaikan harga minyak dunia," ujar dia.
Selain itu Arif meminta pemerintah untuk memperbanyak Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas. Sebagai alternatif bahan bakar bagi masyarakat. "Pada era orde baru kita punya 47 SPBG, tapi kenapa sekarang hanya punya 4 yang aktif," Ujarnya.
Selain itu ia juga berharap pemerintah segera memperbaiki sarana pra sarana dan infrastruktur agar peghasilan masyarakat bisa meningkat. Dengan begitu maka akan meningkatkan daya beli masyarakat. Jika daya beli masyarakat telah tinggi barulah kenaikan BBM dinilai tepat untuk diterapkan.
Sementara saat disinggung mengenai masa periode Megawati yang juga pernah menaikan harga BBM, Arif mengatakan masa tersebut adalah periode krisis yang tidak bisa disamakan dengan periode saat ini.
Sumber: Republika
Tuesday, February 28, 2012
KEHIDUPAN BERSAKSI DAN TANTANGAN KEPEMIMPINAN
Oleh: Sahat H.M.T. Sinaga, S.H, M.Kn,
Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan suatu kesatuan kata yang tidak dapat dipisahkan secara struktural maupun fungsional. Banyak muncul pengertian-pengertian mengenai pemimpin dan kepemimpinan, diantaranya : Pemimpin adalah figur sentral yang mempersatukan kelompok. Kepemimpinan adalah keunggulan seseorang atau beberapa individu dalam kelompok, dalam proses mengontrol gejala-gejala sosial. Kepemimpinan sebagai suatu kemampuan meng-handle orang lain untuk memperoleh hasil yang maksimal dengan perbedaan sedikit mungkin dan kerja sama yang besar, kepemimpinan merupakan kekuatan semangat/moral yang kreatif dan terarah. Pemimpin adalah individu yang memiliki program/rencana dan bersama anggota kelompok bergerak untuk mencapai tujuan dengan cara yang pasti.
Dimensi pelayanan tak bisa dilepaskan dari karakter kepemimpinan. Menjadi pemimpin berarti belajar untuk mendengarkan. Belajar untuk menjadi bijaksana dalam mengambil keputusan. Dalam memimpin dibutuhkan tanggung jawab dan komitmen yang kuat untuk mengangkat semangat hidup. Mendengarkan orang lain, rela turun ke bawah, hidup bersama dengan orang lain tanpa melihat status dan jabatan. Merasakan suka dan duka dengan orang yang dipimpinnya. Membangkitkan harapan orang lain yang hilang karena persoalan kemanusiaan yang dialami. Pemimpin tahu kondisi hidup orang lain yang didampingi.
Model kepemimpinan Yesus, menjadi model kepemimpinan para pelayan umat masa kini. Yesus adalah pemimpin yang berjiwa pelayan, bukan pelayan yang berjiwa pemimpin. Ia adalah pemersatu dan sumber keselamatan. Ia hadir di tengah umat-Nya dan menjadi sumber sukacita abadi. Ia berjalan sambil mewartakan kabar baik. Ia Sang Pemimpin sejati. Model kepemimpinan-Nya dinyatakan dalam pelayanan tanpa pamrih. Inilah model pelayanan sejati.
Kesaksian hidup seorang pemimpin, penting di tengah umat. Kehadirannya masih dirindukan dan dinantikan umat. Cara sang pemimpin umat berada dan keberadaannya, ditantang untuk berjuang bersama orang lain. Terjun dalam realitas hidup yang kompleks. Berani bersaksi di tengah badai jaman yang bergelora. Bersama umat, ia membangun semangat persaudaraan, kerja sama, solidaritas, saling menghargai satu sama lain agar terciptalah iklim hidup bersama yang aman, damai dan sejahtera. Membangun keterbukaan dan saling mendukung dalam karya dan peran masing-masing. Dengan membangun kesaksian hidup yang nampak dalam keteladanannya, maka kerinduan umat akan pelayan umat yang berkualitas bisa terjawab.
Bila keteladanan seorang pemimpin tidak ditampakkan dalam perbuatannya, maka hal itu sia-sia, tidak ada hasil. Kalai ia cerdas, bijaksana, sopan, cara berbicaranya bagus, tentu orang akan memberi apresiasi. Ini masih dalam tingkat budaya verbal. Tapi ketika ide-ide itu tidak membumi, banyak orang akan mengatakan, tadi yang disampaikan di mimbar adalah candu. Orang akan dibuatnya terpesona sesaat namun dampaknya melemah karena sikap hidupnya tidak sesuai dengan apa yang dikatakan. Pengembangan sikap hidup yang baik, menjadi kriteria utama.
Dalam praktek kehidupan masa kini dimana kecenderungan hidup dalam takaran materi, kerap kali orang "tergoda" untuk melanggar norma dan hukum, bahkan firman Tuhan, dalam kerangka untuk mengumpulkan harta dan mendapat posisi "terhormat". Menghadapi hal yang dimulai tentu memerlukan "tahan uji" dan senantiasa "mengucap syukur" atas apa yang dianugerahkan Tuhan kepada saya. Peran pengaruh lingkungan sekitar (terutama istri dan anak-anak) dalam keluarga sangat besar dalam menjalani sikap kepemimpinan yang konsisten. Dengan demikian hidup pemimpin mestilah senantiasa belajar untuk menjadi "yang dipimpin" oleh Tuhan Allah mendekatkan diri dalam persekutuan-persekutuan anak-anak Tuhan.
Disampaikan dalam kegiatan "Latihan Organisasi dan Latihan Kepemimpinan Pemuda-Pemudi Bandung"
26 Februari 2012
Pemimpin dan Kepemimpinan merupakan suatu kesatuan kata yang tidak dapat dipisahkan secara struktural maupun fungsional. Banyak muncul pengertian-pengertian mengenai pemimpin dan kepemimpinan, diantaranya : Pemimpin adalah figur sentral yang mempersatukan kelompok. Kepemimpinan adalah keunggulan seseorang atau beberapa individu dalam kelompok, dalam proses mengontrol gejala-gejala sosial. Kepemimpinan sebagai suatu kemampuan meng-handle orang lain untuk memperoleh hasil yang maksimal dengan perbedaan sedikit mungkin dan kerja sama yang besar, kepemimpinan merupakan kekuatan semangat/moral yang kreatif dan terarah. Pemimpin adalah individu yang memiliki program/rencana dan bersama anggota kelompok bergerak untuk mencapai tujuan dengan cara yang pasti.
Dimensi pelayanan tak bisa dilepaskan dari karakter kepemimpinan. Menjadi pemimpin berarti belajar untuk mendengarkan. Belajar untuk menjadi bijaksana dalam mengambil keputusan. Dalam memimpin dibutuhkan tanggung jawab dan komitmen yang kuat untuk mengangkat semangat hidup. Mendengarkan orang lain, rela turun ke bawah, hidup bersama dengan orang lain tanpa melihat status dan jabatan. Merasakan suka dan duka dengan orang yang dipimpinnya. Membangkitkan harapan orang lain yang hilang karena persoalan kemanusiaan yang dialami. Pemimpin tahu kondisi hidup orang lain yang didampingi.
Model kepemimpinan Yesus, menjadi model kepemimpinan para pelayan umat masa kini. Yesus adalah pemimpin yang berjiwa pelayan, bukan pelayan yang berjiwa pemimpin. Ia adalah pemersatu dan sumber keselamatan. Ia hadir di tengah umat-Nya dan menjadi sumber sukacita abadi. Ia berjalan sambil mewartakan kabar baik. Ia Sang Pemimpin sejati. Model kepemimpinan-Nya dinyatakan dalam pelayanan tanpa pamrih. Inilah model pelayanan sejati.
Kesaksian hidup seorang pemimpin, penting di tengah umat. Kehadirannya masih dirindukan dan dinantikan umat. Cara sang pemimpin umat berada dan keberadaannya, ditantang untuk berjuang bersama orang lain. Terjun dalam realitas hidup yang kompleks. Berani bersaksi di tengah badai jaman yang bergelora. Bersama umat, ia membangun semangat persaudaraan, kerja sama, solidaritas, saling menghargai satu sama lain agar terciptalah iklim hidup bersama yang aman, damai dan sejahtera. Membangun keterbukaan dan saling mendukung dalam karya dan peran masing-masing. Dengan membangun kesaksian hidup yang nampak dalam keteladanannya, maka kerinduan umat akan pelayan umat yang berkualitas bisa terjawab.
Bila keteladanan seorang pemimpin tidak ditampakkan dalam perbuatannya, maka hal itu sia-sia, tidak ada hasil. Kalai ia cerdas, bijaksana, sopan, cara berbicaranya bagus, tentu orang akan memberi apresiasi. Ini masih dalam tingkat budaya verbal. Tapi ketika ide-ide itu tidak membumi, banyak orang akan mengatakan, tadi yang disampaikan di mimbar adalah candu. Orang akan dibuatnya terpesona sesaat namun dampaknya melemah karena sikap hidupnya tidak sesuai dengan apa yang dikatakan. Pengembangan sikap hidup yang baik, menjadi kriteria utama.
Dalam praktek kehidupan masa kini dimana kecenderungan hidup dalam takaran materi, kerap kali orang "tergoda" untuk melanggar norma dan hukum, bahkan firman Tuhan, dalam kerangka untuk mengumpulkan harta dan mendapat posisi "terhormat". Menghadapi hal yang dimulai tentu memerlukan "tahan uji" dan senantiasa "mengucap syukur" atas apa yang dianugerahkan Tuhan kepada saya. Peran pengaruh lingkungan sekitar (terutama istri dan anak-anak) dalam keluarga sangat besar dalam menjalani sikap kepemimpinan yang konsisten. Dengan demikian hidup pemimpin mestilah senantiasa belajar untuk menjadi "yang dipimpin" oleh Tuhan Allah mendekatkan diri dalam persekutuan-persekutuan anak-anak Tuhan.
Disampaikan dalam kegiatan "Latihan Organisasi dan Latihan Kepemimpinan Pemuda-Pemudi Bandung"
26 Februari 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)