Mendorong Hukum dan
Kekuasaan Mengatasi Ketimpangan
Penulis : Ericko
Sinuhaji S.H.
Indonesia
menapaki tahun 2016 dengan segala tantangan dan peluang di depan mata. Tahun
baru ini kita telah masuk era Masyarakat Ekonomi Asean, yang artinya arus
barang dan jasa telah diliberalisasi (secara bertahap) di kawasan ini. Bagi
yang dapat memanfaatkannya, tentu akan membuka jalan menuju kesejahteraan yang
lebih baik lagi. Namun di sisi lain, kita harus waspada terhadap kemungkinan
semakin menjulangnya ketimpangan di Indonesia karena momentum ini.
Ya,
bukan rahasia lagi bahwa ketimpangan di Indonesia saat ini sudah dalam kondisi
mengkhawatirkan. Data tahun 2012 menyatakan indeks koefisien Gini (indikator
pengukur kesenjangan pendapatan) Indonesia telah mencapai angka 0,41, naik
tajam dari data tahun 1999 sebesar 0,32. Dalam pengukuran kesenjangan, angka diatas
0,4 termasuk dalam kategori buruk. Kecenderungan ketimpangan yang memarah ini
ironis mengingat di saat bersamaan (2009-2013), pertumbuhan kita mencapai rata-rata
5,9%, suatu nilai di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia.
Hukum
dan kekuasaan haruslah bertindak mengatasi ketimpangan. Jika hukum dan
kekuasaan tidak berbuat apa-apa, maka struktur ketidakadilan di masyarakat
kita—salah satunya kesenjangan yang besar—akan terus bertahan. Akibatnya,
manfaat terbaik laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kita akan dinikmati
kalangan menengah-atas terus menerus. Kecenderungan ini tentunya bertentangan
dengan niat mula-mula dibentuknya pemerintahan di republik ini yang ingin mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lantas, bagaimana cara
hukum dan kekuasaan mengatasi masalah ketimpangan?
Caranya
yaitu dengan fokus terhadap dua sektor paling krusial dalam penguasaan kekayaan.
Kesenjangan sejatinya bicara soal jauhnya rentang penguasaan kekayaan di pihak
tertinggi dengan yang terendah. Sebagai contoh, di saat ada orang yang mampu
membeli aset berharga miliaran rupiah, ada yang bahkan kesulitan membiayai
hidup sehari-hari. Dan mempertegas bahasan ini, kita bisa lihat dua sektor
krusial yang sangat timpang dikuasai: uang dan tanah.
Tanah
dan uang merupakan hal dasar dalam upaya menghasilkan kesejahteraan. Dan itu
sebabnya penting mencermati jurang perbedaan di sektor ini. Badan Pertanahan
Nasional (BPN) mengungkapkan bahwa sebesar 80% tanah di Indonesia dikuasai
hanya oleh kurang dari 2% penduduk. Itu artinya 20% sisanya diperebutkan oleh
98% penduduk. Lalu mari kita sandingkan ini dengan data penguasaan uang di Indonesia.
Pihak
perbankan menyatakan, simpanan senilai 100 juta atau kurang sangat dominan,
mencapai 97,78 persen rekening. Jumlah rekening dengan nominal Rp 100 juta
sampai Rp 300 juta atau kurang hanya 1,01 persen. Selebihnya hanya “nol koma”
dan yang di atas Rp 5 miliar hanya 0,04 persen. Begitu juga dengan inklusi
keuangan Indonesia relatif sangat rendah yaitu 36,1%. Artinya hanya 36,1% penduduk
yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan. Sisanya tidak dimudahkan untuk mengakses uang
atau bisa kita bilang kesulitan mendapatkan uang.
Melihat
data-data itu, menjadi wajar mengapa jurang miskin dan kaya sangat nyata di
Indonesia. Dan harus ada upaya perubahan agar tanah dan uang yang merupakan
instrumen yang seharusnya untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan tidak
dieksploitasi oleh segelintir pihak bergeser menjadi alat penimbun kekayaan
semata untuk menguasai perekonomian. Berikut uraian singkat yang barangkali
bisa dilakukan.
Dalam
sektor pertanahan, sudah saatnya pemerintah secara serius merombak struktur
penguasaan lahan yang terkonsentrasi di beberapa kelompok saja. Pemerintah
harus memiliki target dan capaian untuk perombakan ini. Regulasi mengenai
pembatasan pengelolaan lahan harus diawasi dan ditegakkan lebih ketat agar
tidak ada lagi pihak-pihak yang mengambil untung karena memiliki keunggulan
kapital sehingga bisa berspekulasi memiliki banyak lahan menyebabkan tingginya
harga tanah. Begitu juga dengan lahan-lahan yang terabaikan atau tidak mampu
dikelola dengan baik oleh pemerintah maupun swasta, segera ditata dan dialihkan
ke masyarakat yang membutuhkan. Hal ini dilakukan agar sekaligus merombak
struktur penguasaan yang timpang dan membuat lahan menjadi produktif karena
diberdayakan masyarakat.
Dan
serangkaian pola kebijakan yang harus dilakukan itu haruslah didorong dengan memperjelas
dan menyinkronkan kewenangan antar badan pemerintah untuk dapat mengeksekusi
tindakan-tindakan tersebut. Selama ini sering sekali timbul kemandekan
operasionalisasi kebijakan pemerintah karena ketiadaan regulasi dan kesamaan
pemahaman untuk mengatasi masalah struktur penguasaan tanah yang timpang ini.
Sebagai contoh, antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dan pemerintah
daerah harus diberikan ruang yang jelas bagian-bagian yang mereka dapat lakukan.
Dalam
sektor keuangan, harus diberikan keberpihakan dan akses bagi program-program
finansial untuk masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Dana murah harus menjadi
prioritas untuk disediakan oleh lembaga-lembaga keuangan. Namun ini bukan lagi
dana-dana “murah” yang nyatanya punya beban bunga lebih besar dari yang didapat
warga menengah-atas biasanya. Permasalahan akan harus adanya jaminan untuk
penyediaan dana harus diterobos regulasi sembari juga mengarahkan penggunaan
dana murah ini untuk hal-hal yang bersifat produktif.
Sementara itu, tren pemerintah sekarang yang memberikan besaran alokasi anggaran negara lebih ke daerah juga merupakan hal positif dan perlu terus didorong karena membuka peluang redistribusi uang yang selama ini dominan ke Jakarta menjadi lebih menyeluruh. Namun, harus ada pengawasan serius dan penegakan hukum yang tegas agar yang menikmati hasil uang itu adalah masyarakat banyak, bukan lagi-lagi segelintir orang.
Sementara itu, tren pemerintah sekarang yang memberikan besaran alokasi anggaran negara lebih ke daerah juga merupakan hal positif dan perlu terus didorong karena membuka peluang redistribusi uang yang selama ini dominan ke Jakarta menjadi lebih menyeluruh. Namun, harus ada pengawasan serius dan penegakan hukum yang tegas agar yang menikmati hasil uang itu adalah masyarakat banyak, bukan lagi-lagi segelintir orang.
Dan
untuk memperkuat kebijakan tersebut, harus didorong juga dengan penguatan
institusi-institusi keuangan mikro. Setiap pemerintah daerah harus mulai peduli
dengan pemberdayaan lembaga keuangan mikro di daerahnya sehingga menguatkan
inklusi keuangan. Agar akses terhadap uang dan lembaga keuangan menjadi lebih
terjangkau pada masyarakat kelas bawah. Selain itu, tak lupa pembentukan
kembali regulasi mengenai koperasi harus dilakukan mengingat fundamen utama
perekonomian kita adalah filosofi kekeluargaan. Filosofi ini justru penting diimplementasikan
sekaligus untuk mengatasi pola ketimpangan karena koperasi menganut prinsip
kesejahteraan seluruh anggota.
Dua
fokus utama itu penting untuk terus dicermati agar setidaknya masalah
ketimpangan di Indonesia bisa semakin teratasi. Tentu kita tidak menutup mata
terhadap berbagai isu lain yang lekat dengan masalah ketimpangan, seperti
kemiskinan, namun tidak dibahas dalam kajian kali ini. Dengan mencoba mengatasi
masalah ketimpangan, kita akan menghindarkan negeri ini dari potensi konflik
besar yang bisa mengancam dan menghancurkan keutuhan negeri tercinta ini karena
bisa saja terjadi perang dan kerusuhan akibat perebutan kekayaan dan sumber
daya. Dan itu semua bisa terhindar, jika hukum dan kekuasaan mau bergerak
merombak struktur-struktur ketidakadilan dan ketimpangan yang nyata ada di
tengah-tengah masyarakat sembari terus menyediakan ruang bagi kemajuan dan
pertumbuhan ekonomi. Semuanya demi mimpi mewujudkan Indonesia yang berkeadilan,
damai, dan sejahtera di masa mendatang.
Karya : Ericko Sinuhaji S.H, alumni Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran yang sekarang
aktif sebagai volunteer di Lembaga
Bantuan Hukum Bandung. Dapat dihubungi di email: lelatumerah@gmail.com