Wednesday, December 1, 2010

Koran Komisariat UNPAD November dan Desember

SEPATAH KATA DARI PENGURUS GMKI KOMISARIAT UNPAD

Syalom..
Pertama-tama sepantasnya kita mengucapkan syukur terlebih dahulu kepada Sang Kepala Gerakan kita, Yesus Kristus karena berkat kasih karuniaNya, koran GMKI Komisariat UNPAD kembali hadir untuk menghibur teman-teman sekalian.
Pada edisi sebelumnya kami telah menjelaskan tentang GMKI Komisariat UNPAD, Program Kerja GMKI Komisariat UNPAD, dan Perkenalan dari Pengurus GMKI Komisariat UNPAD. Dalam edisi kali ini koran GMKI Komisariat UNPAD langsung menerbitkan dua edisi, yaitu edisi Bulan November dan Desember. Koran edisi Bulan November berisikan tentang – dan edisi Bulan Desember berisikan tentang kelahiran Sang Kepala Gerakan kita.
Dalam beberapa hari ke depan kita akan merasakan suasana kelahiran Sang Kepala Gerakan kita. Kita akan berkumpul bersama keluarga kita, pergi ke Gereja bersama dengan keluarga, merayakan natal penuh sukacita. Kebersamaan seperti ini merupakan kegiatan wajib yang akan kita laksanakan setiap tahunnya. Jadi, pergunakanlah kebersamaan ini dengan sebaik-baiknya karena kebersamaan seperti itu tidak terlupakan dan hanya kita laksanakan sekali dalam setahun untuk memperingati kelahiran Sang Kepala Gerakan kita.
Kiranya koran ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi teman-teman sekalian dalam menjalani aktivitas masing-masing setiap hari.
Teriring salam dari kami,

Pengurus GMKI Komisariat UNPAD    

ARTIKEL
BULAN NOVEMBER

INDONESIA KEKURANGAN PAHLAWAN

Seperti anak SD, kalau kita ditanya tanggal 10 November itu diperingati sebagai hari apa, kita serentak akan berseru, Hari Pahlawan. Demikian melekatnya tanggal tersebut dengan nama peringatannya. Hampir semua orang, dari yang tidak pernah mengenal alfabet sampai kepada guru-guru besar, menghapal mati hal ini. Namun kepopulerannya ternyata hanya sebatas kulit.
Hari Pahlawan memang rutin diperingati di seluruh Indonesia, tapi itu tidak lebih dari pada seremonial belaka. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak dihayati dan tidak mewarnai aktivitas kehidupan bermasyarakat. Kehidupan dinamis ala barat, yang sangat mendewakan individu, tampak berperan penting sebagai penyebab memudarnya nilai-nilai kepahlawanan tersebut. Orang-orang, terutama di lingkungan perkotaan, sering menunjukkan sifat individualisme, kurang memperdulikan orang lain di sekitarnya dan hanya berpusat pada kepentingan diri sendiri.
Berkaitan dengan judul tulisan, mungkin akan terbetik pertanyaan mengapa sampai dikatakan Indonesia kekurangan pahlawan. Bukankah taman makam pahlawan sudah berjubel dengan nisan-nisan yang indah? Bukankah kita bisa menikmati kemerdekaan dari penjajah karena banyaknya pahlawan yang rela mengorbankan dirinya dan hartanya untuk bangsa?
Berbicara masalah pahlawan, tentu tak bisa dilepaskan dari pengertian tentang pahlawan itu sendiri. Selama ini, kita sering salah dalam menetapkan siapakah yang pantas disebut pahlawan di negeri ini. Kita hanya memandang bahwa pahlawan adalah orang-orang yang pernah berjuang membebaskan negeri ini dari cengkraman kaum penjajah. Malah ada yang lebih lucu lagi dimana banyak orang yang beranggapan bahwa seseorang baru disebut pahlawan apabila orang itu berjasa bagi negara dan orang tersebut sudah meninggal. Itulah sebabnya, banyak kasus ironis di negeri ini, di mana seseorang yang pernah mati-matian membela bangsa dan negara, selepas kemerdekaan, hidup dengan sangat melarat dan tak terperhatikan. Baru pada saat meninggal, orang-orang mengingat dan mengagung-agungkannya. Malah ada yang sampai mati pun tidak terperhatikan.
Kadang juga ada yang pikirannya sedikit lebih luas, dengan menganggap bahwa pahlawan itu tidak cuma ada di zaman kemerdekaan saja. Sekarang pun, di masa pembangunan, banyak pahlawan-pahlawan di tanah air ini. Sebagai contoh, Susi Susanti (bidang olahraga). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (politik), Abdullah Gymnastiar (bidang agama). Pokoknya semua orang-orang ternama yang mengabdikan dirinya untuk bangsa. Tapi sebenarnya, pemahaman pahlawan seperti ini masih sempit.
Yang benar, pahlawan adalah semua orang yang rela dan mau membantu atau berbuat baik kepada orang lain, bangsa ataupun negara tanpa adanya rasa pamrih. Tidak peduli baik orang terkenal maupun tersembunyi di hutan belantara, baik yang meninggal maupun yang masih hidup. Mereka merasa bahwa mereka ini hidup tidak sendiri. Mereka satu kesatuan dengan masyarakat dan bangsa. Mereka merasa bahwa orang lain adalah saudara yang wajib mereka bantu. Tidak akan tenang hati mereka kalau orang lain kesusahan. Itulah hakikat pahlawan yang sebenarnya.
Dari batasan ini, sudah jelaslah, sangat tepat kalau dikatakan bahwa Indonesia dewasa ini kekurangan pahlawan. Sebagian besar orang hanya hidup untuk diri sendiri dan keluarganya. Sikut sana, sikut sini, biarkan saja orang lain seperti apa adanya, asal mereka sendiri dapat hidup dengan enak. Mereka tidak merasa bahwa kehidupan orang lain adalah bagian dari kehidupan mereka juga. Egois atau individualis adalah istilah yang tepat.
Itulah salah satu hal yang memperpuruk kehidupan ekonomi dan sosial bangsa ini yang sudah carut-marut. Kurangnya jiwa kepahlawanan, menyebabkan semakin melebarnya gap antara si kaya dan si miskin. Yang kaya semakin makmur, yang miskin semakin melarat. Kurangnya jiwa kepahlawanan juga menjadi sebab, tidak dinikmatinya kekayaan alam Indonesia yang konon berlimpah secara merata oleh masyarakat. Pihak yang berkuasa, karena mementingkan diri sendiri, mengelola kekayaan tersebut dengan seenak perut, bahkan mereka rela menjual kekayaan tersebut ke pihak asing, sehingga otomatis hasilnya lari ke negara lain. Jadilah kita seperti tikus yang mati di lumbung padi.


GEMPA BUMI DAN ANTISIPASI KITA

Untuk kesekian kalinya, bumi Pertiwi dilanda bencana gempa bumi. Kali ini gempa mengguncang kota Padang dan kota-kota sekitarnya di Provinsi Sumatera Barat. Ratusan warga meninggal dunia, ribuan luka-luka, sementara kerusakan harta-benda akibat bencana ini tak terhitung nilainya. Belum lagi trauma kejiwaan, kesedihan dan nestapa warga yang kehilangan anggota keluarga, sanak saudara, serta rumah yang selama ini mereka tinggali.
Seperti saat terjadi gempa-gempa bumi sebelumnya, banyak di antara kita yang terkejut, prihatin, sekaligus menyesali banyaknya korban yang meninggal dunia. Bagaimanapun, bencana gempa yang terjadi berturut-turut di berbagai wilayah, dengan korban harta dan jiwa yang cukup besar, membuat bangsa ini selalu dirundung duka. Namun sayang, semua keprihatinan itu belum mampu mengubah sikap dan perilaku masyarakat secara mendasar dalam menghadapi gempa bumi. Kita baru mampu melakukan tindakan kuratif atau penanggulangan dampak setelah gempa melanda, sementara tindakan preventif-antisipatif belum diterapkan secara sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari.
Harus diakui, reaksi masyarakat terhadap dampak bencana gempa bumi sangat positif. Hanya berselang satu hari setelah gempa terjadi, sumbangan dalam bentuk uang, makanan, pakaian maupun barang dari berbagai pihak terus mengalir ke Sumatera Barat. Hal tersebut menunjukkan bukti bahwa masyarakat sangat peduli untuk membantu meringankan beban mereka yang sedang menderita. Hanya saja, tindakan itu belum diimbangi dengan kesadaran bahwa kekuatan gempa bumi tidak bisa dilawan oleh manusia, sehingga diperlukan sikap mengalah untuk menang. Mengalah dalam arti mempersiapkan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya gempa bumi, bukan sebaliknya melawannya dengan tindakan yang tidak selaras dengan sifat-sifat gempa bumi.
Sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya berada di dalam ring of fire atau lingkar gunung api dunia dan berada persis di patahan lempeng bumi yakni lempeng Australia dan Eurasia—dimana keduanya merupakan faktor utama pencetus gempa bumi—sepantasnyalah bangsa Indonesia menganggap bahwa terjadinya gempa bumi merupakan sebuah keniscayaan. Seyogyanya pula bangsa Indonesia membangun bangunan yang tahan gempa, sehingga saat bencana yang sama terjadi lagi, jumlah korban bisa diminimalisasi. Namun kenyataan menunjukkan, di sejumlah daerah yang jelas-jelas termasuk wilayah rawan gempa, masyarakat justru mendirikan bangunan yang tidak tahan guncangan. Konstruksi beton yang masif dan kaku menjadi pilihan, karena dipandang lebih murah, kuat dan sesuai dengan tren desain modern. Namun diakui maupun tidak, tren membuat bangunan beton—apalagi persyaratan teknisnya tidak diterapkan secara baik—adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap sifat-sifat gempa yang lebih selaras dengan tipe bangunan yang elastis dan dinamis.
Berbagai gempa bumi berskala di atas 6 Skala Richter (SR) seperti yang terjadi di Aceh dan Nias, Bengkulu, Pangandaran, Tasikmalaya, semua membawa korban yang cukup besar. Bahkan gempa Yogyakarta yang ‘hanya’ 5,9 SR pun menelan korban jiwa sampai ribuan orang. Kebanyakan korban meninggal dunia akibat tertimpa reruntuhan bangunan tempat tinggal yang menurut para pakar sebagian besar berkonstruksi beton non standar atau beton sederhana.
Bandingkan dengan gempa berkekuatan 7,1 SR yang terjadi di Ishikawa Jepang pada 2007, yang hanya menewaskan sekitar sepuluh orang. Bahkan gempa ini hanya merubuhkan puluhan rumah saja. Hal tersebut bukan semata-mata karena kuat-lemahnya guncangan, akan tetapi lebih terkait dengan bagaimana perilaku masyarakat setempat dalam mendirikan bangunan yang selaras dengan tabiat gempa bumi.
Kendati sebagian besar penduduk Indonesia sadar bahwa mereka tinggal di daerah rawan gempa, akan tetapi jumlah warga yang secara khusus mendesain tempat tinggal yang tahan guncangan dapat dihitung dengan jari. Ironisnya, rumah-rumah tradisional yang sejatinya didesain oleh nenek-moyang agar tahan guncangan, justru menghilang dari khazanah arsitektur Indonesia. Blunder ini pada akhirnya membawa petaka, banyak rumah beton yang rubuh manakala diguncang gempa berkekuatan besar.
Fakta tersebut sesungguhnya dapat difahami, karena rumah beton—kendati lebih kuat—namun fleksibilitasnya di tengah guncangan sangat rendah. Apalagi rumah beton yang desainnya tidak memenuhi standar, misalnya tidak disertai blok-blok beton cor bertulang besi sebagai penunjangnya, kemampuannya menahan daya tarik dan daya tekan sangat rendah. Kita bisa melihat, hampir 80% rumah yang rubuh saat gempa di Padang Yogyakarta beberapa waktu lalu adalah rumah beton, sementara sebagian besar rumah-rumah tradisional dari kayu masih berdiri, kendati ada kerusakan pada atap dan dinding-dindingnya.
Probabilitas terjadinya gempa bumi di Indonesia masih sangat besar, dan jangan lupa, tidak seorangpun dapat meramalkan kapan gempa tersebut akan terjadi. Maka sangat naif jika bangsa Indonesia terus mendirikan bangunan yang tidak tahan gempa, khususnya rumah-rumah beton alakadarnya, sebagaimana yang dilakukan sebagian besar masyarakat saat ini. Tindakan tersebut sama saja dengan mengabaikan keselamatan diri sendiri.
Sekali lagi, kita tidak bisa melawan kekuatan gempa bumi. Sebaliknya, kita seharusnya bersahabat dengan gempa. Salah satu cara yang paling rasional adalah dengan membangun rumah tahan gempa. Soal desain, kita memiliki puluhan jenis rumah tradisional yang sebagian besar tahan gempa. Tinggal bagaimana menyesuaikan desain tersebut dengan kebutuhan dan mode masa kini.

ARTIKEL
BULAN DESEMBER

CARA ORANG BATAK MENYAMBUT NATAL

Beragam cara orang Batak menggalang kebersamaan. Melalui perkumpulan marga misalnya, yang diimplementasikan dengan partangiangan (doa syukuran bersama) sekali sebulan. Dengan membentuk arisan,dalam ruang lingkup marga, lingkungan tempat tinggal, atau lingkungan satu profesi.

Menyambut hari-hari besar seperti Natal dan Tahun Baru, orang Batak punya cara yang spesifik merealisasikan semangat kebersamaan,melalui sebuah kebiasaan yang ditradisikan dengan sebutan Marbinda. Konotasi marbinda dalam konteks Batak, adalah menyembelih seekor hewan untuk dibagi bersama. Biasanya, hewan yang disembelih adalah jenis kerbau, lembu, dan babi. Jumlah pesertanya tergantung apa yang mau dibindakan. Kalau kerbau,pesertanya lebih banyak, bisa mencapai 35 sampai 40 orang. Kalau marbinda babi,pesertanya lebih sedikit, antara 10 sampai 15 orang.Itu pun tergantung besar kecilnya hewan yang mau dibindakan.

Marbinda dilaksanakan,setelah sekumpulan orang merancang, dan menyepakati hewan apa yang akan disembelih, dan dalam rangka apa. Yang paling dikenal adalah binda dalam rangka menyambut Natal dan Tahun Baru. Tak perlu ada panitia formal. Biasanya ada satu atau dua orang yang dipercayakan menangani setoran iuran dari peserta. Dia bisa dianggap ketua sekaligus bendahara. Ada satu kelompok binda yang mulai mengumpulkan iuran sekali seminggu, ada pula yang sekali sebulan. Kebanyakan kelompok mulai mengumpul setoran dari peserta terhitung bulan Januari, dengan deadline (batas waktu) pembayaran akhir bulan Oktober atau Nopember. Itu dimaksudkan,supaya uang dapat segera dibelanjakan beli kerbau sebulan sebelum hari H. Tapi ada juga satu kelompok baru membeli kerbau dua atau tiga hari sebelum hari H,tergantung kesepakatan.

Kebanyakan kelompok binda menetapkan sekretariat bersama di kedai kopi, kedai tuak, atau rumah makan yang ditentukan, atau kadang di rumah seseorang yang ditunjuk menjadi ketua merangkap juru pungut setoran anggota. Simpel memang. Tak perlu bertele-tele. Hal itu mudah ditemukan di sebuah kedai tuak atau kedai kopi, dimana daftar peserta ditulis di sehelai kertas yang ditempelkan di dinding. Kertas daftar itu berisi nama peserta, dan lajur-lajur nama bulan, serta jumlah uang yang sudah disetor peserta. Melalui catatan itu, tercermin transparansi. Setiap anggota bisa segera tahu, sudah berapa yang sudah disetor, bulan ke berapa yang belum dibayar.
           
Marbinda, menjadi sebuah tradisi menarik dan menjadi nilai plus, ketika masyarakat Batak menyambut Natal dan Tahun Baru. Pemda setempat memang setiap perayaan Natal/Tahun Baru, selalu memotong beberapa ekor kerbau untuk dibagikan pada para pegawai dan elemen lainnya. Itu sudah dilaksanakan Pemda Tapanuli Utara misalnya sejak dulu. Biayanya juga sudah dianggarkan dalam APBD tahunan. Menjelang hari Natal, bagian terkait di Kantor Bupati membagikan DO kepada setiap nama yang tercantum pada register penerima. Itu memang berbeda dengan marbinda yang diadakan kelompok tertentu di tengah masyarakat. Karena marbinda dibiayai sekelompok orang dalam semangat kebersamaan.
Yang penting, asal saja kekompakan dan kebersamaan itu tidak hanya terjalin saat marbinda saja, tapi benar-benar diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dalam kerangka penguatan komunitas Batak yang bermartabat dengan filosofi Dalihan Natolu yang sudah teruji dan terpuji sejak jaman dahulu, begitu komentar seorang warga yang mengaku turut berbangga hati, karena pada saat dunia sedang dilanda krisis global,orang Batak tetap mau dan mampu berbagi kebersamaan dengan tradisi marbinda.

TAHUN BARU

Tahun baru adalah suatu perayaan di mana suatu budaya merayakan berakhirnya masa satu tahun dan menandai dimulainya hitungan tahun selanjutnya. Budaya yang mempunyai kalender tahunan semuanya mempunyai perayaan tahun baru. Hari tahun baru di Indonesia jatuh pada tanggal 1 Januari karena Indonesiamengadopsi kalender Gregorian, sama seperti mayoritas negara-negara di dunia.
Bagi sebagian orang, pergantian tahun merupakan saat yang dinanti-nanti, namun bagi sebagian lagi masih diliputi tanda tanya bagaimana kondisi tahun depan. Setiap pergantian tahun, selalu diikuti dengan refleksi dan resolusi baru. Luangkan waktu untuk melihat kembali apa yang sudah kita raih dalam satu tahun ini.

Hidupkan Impian Baru
Memasuki tahun baru, sebaiknya segera menetapkan impian baru. Apakah itu menghidupkan kembali impian lama yang belum terwujud atau benar-benar menetapkan impian baru yang hendak diraih di tahun 2009.
Mulailah menetapkan impian. Menghidupkan impian akan memberikan banyak manfaat bagi kita. Karena memiliki impian akan memberi motivasi bagi kita untuk bertindak mewujudkannya. Memiliki impian dapat menjadi arah bagi kita untuk melangkah kedepan. Bahkan menghidupkan impian seperti membangkitkan energi dari dalam diri, dapat menjadi pendorong bagi kita untuk memperkuat diri dalam menghadapi berbagai tantangan dan hambatan.Memiliki impian dapat memberi kita dorongan untuk hidup lebih terencana, hidup lebih efisien guna merealisasikan mimpi kita. Mimpi dapat menjadi pendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang terarah demi merealisasikan impian.Dengan impian akan menghidupkan harapan. Dengan harapan akan melahirkan tindakan.

Rencana dan Tindakan
Setelah memiliki impian, langkah berikutnya yang sangat penting adalah memvisualisasikan impian tersebut menjadi sebuah tujuan yang jelas dan rinci. Kemudian mulailah menyusun rencana dan strategi untuk melakukan tindakan-tindakan dalam merealisasikan impian tersebut. Dengan demikian memiliki kejelasan impian sangatlah penting dalam membantu memudahkan menyusun rencana rinci dan tindakan yang diperlukan.Ingatlah bahwa impian tanpa rencana dan tindakan hanyalah sekedar impian. Ketika sudah menetapkan impian, menyusun rencana, berusahalah dalam tindakan selalu fokus pada impian dan rencana kita. Dengan fokus akan menjadi lebih bersemangat, lebih terarah dan melahirkan kreativitas untuk mencari berbagai cara baru dalam merealisasikannya.
Kalau hal itu dilakukan secara konsisten dan terarah, kita akan menikmati hasilnya di tahun mendatang. Arahkan hati dan pikiran kita tentang indahnya meraih kesuksesan dalam merealisasikan impian kita.

NOTES GMKI Komisariat UNPAD

MENGIKUT YESUSS DARI KEJAUHAN

 

Lukas 23:49
Semua orang yang mengenal Yesus dari dekat, termasuk perempuan-perempuan yang mengikuti Dia dari Galilea, berdiri jauh-jauh dan melihat semuanya itu.
Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 138; Yohanes 15; 2 Tawarikh 36:22-23
Ada orang banyak yang mengikuti Yesus kemanapun Ia pergi – ke kota-kota, desa-desa, perbukitan, danau bahkan sinagoga. Mungkin mereka mengikuti-Nya karena mukjizat yang telah dibuat-Nya, atau tertarik dengan ajaran-Nya, namun satu hal, hanya beberapa gelintir orang yang berkomitmen terhadap-Nya. Mereka adalah ke dua belas murid-Nya.
Namun bagaimana ketika Yesus menghadapi jalan salib itu. Para murid tercerai berai. Satu orang mengkhianati-Nya, satu lagi menyangkal-Nya dan yang lainnya hanya melihat Yesus dari kejauhan. Namun sekalipun demikian, Yesus tetap mengasihi mereka. Dia datang menguatkan mereka kembali setelah kebangkitan-Nya. Mereka bisa di yakinkan dengan kehadiran Yesus. Mereka tahu bahwa Tuhan yang mereka ikuti cukup dekat dengan mereka untuk mereka sentuh, dan percayai. Mereka kembali menaruh kepercayaan dan pengharapan mereka pada Yesus, bahkan lebih dari komitmen, mereka rela memberikan nyawa mereka untuk memberitakan nama Yesus itu. Mereka yakin apapun keadaan mereka, ada pengharapan dan hidup kekal di dalam Yesus.
Anda dan saya memiliki pilihan yang sama hari ini. Apakah kita akan mengikuti Yesus seperti orang banyak itu, melihat Yesus dari kejauhan, atau mengikuti jejak Yesus dan berada bersama-Nya bahkan ketika harus berhadapan dengan maut?
Hari ini marilah kita jangan jadi pengikut yang pasif, yang hanya mengenal Yesus dari jauh. Namun mari kita mengikuti Yesus dengan komitmen. Pada dasarnya, mengikuti Yesus memiliki berbagai kelebihan: Pertama, kita mendapatkan hidup kekal; Kedua kita mengalami rahmat dan pengampunan dari-Nya setiap hari; Ketiga, Allah merancangkan kehidupan yang penuh harapan, dan Dia selalu bersama kita; Kelima, tidak ada sesuatu pun yang terjadi tanpa ijin-Nya; Ke enam, Dia memberi kita kekuatan-Nya, otoritas dan kuasa-Nya; Ketujuh, Ia memberikan perlindungan sempurna atas hidup kita.
Apa lagi yang Anda butuhkan dalam hidup ini? Bukankah mengikut Yesus itu adalah sebuah keuntungan?
Ingatlah bahwa Anda tidak akan pernah kehilangan upah ketika mengiring Yesus.



GMKI Komisariat UNPAD
Mengucapkan:

SELAMAT NATAL
&
TAHUN BARU 2011