Thursday, November 29, 2012

TB Simatupang: Saya Adalah Orang Berhutang


Kalau kepada anak-anak muda sekarang ditanyakan: siapakah tokoh TB Simatupang itu? Saya berani bertaruh sebagian besar hanya akan menjawab bahwa itu adalah nama sebuah ruas jalan yang cukup panjang di kawasan selatan Jakarta, tanpa pernah paham kenapa nama tokoh itu diabadikan sebagai nama jalan.

Saya berani bertaruh demikian tak lain karena mengacu pada hasil jajak pendapat yang dibuat oleh Litbang Kompas bertajuk “Nilai Kepahlawanan Makin Pudar” (Kompas, Senin 12 November 2012, halaman 5). Salah satu pertanyaan dalam jajak pendapat itu: Siapa tokoh yang dikagumi jiwa kepahlawanannya? Hasil survei menunjukkan: Presiden Soekarno (40,7%), RA Kartini (9,3%), Jenderal Sudirman (8,9%), Pangeran Diponegoro (3,8%), Ki Hajar Dewantoro (3,4%), Muhammad Hatta (2,9%), Abdurrachman Wahid (2,6%), Presiden Soeharto (2,4%), dan Bung Tomo (1,9%). Tidak ada disebut nama TB Simatupang.

Institut Leimena, Senin (12/11), menggelar acara “TB Simatupang Memorial Lecture: Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila”, hanya dua hari setelah kita mengenang Hari Pahlawan 10 November, yang makin hilang maknanya. Yang menyampaikan pidato antara lain: Ketua MK Mahmud MD, KH Salahudin Wahid, Prof. Dr Syafii Maarif, Jend (Purn) Luhut Panjaitan, dan Prof. Dr Adrianus Mooy.

Panglima Termuda

Letnan Jenderal (Purn) Dr Tahi Bonar Simatupang atau Pak Sim adalah lulusan Akademi Militer di Bandung, tahun 1942, lalu menjadi Kepala Staf Angkatan Perang pada 1949 di usia 29 tahun. Ia menggantikan Jenderal Sudirman yang sakit dan kemudian meninggal dunia. Dia ikut berperan dalam pembentukan Tentara Nasional Indonesia, terlibat dalam perang kemerdekaan maupun perjuangan diplomasi.

Karier militernya habis setelah terlibat dalam peristiwa “kudeta setengah hati” 17 Oktober 1952. Pada saat itu pemimpin TNI AD menentang kebijakan Bung Karno dengan menuntut pembubaran parlemen dan segera digelar pemilu. Akibatnya TB Simatupang, juga AH Nasution, dicopot dari jabatannya. Namun, ia baru benar-benar pensiun dari tentara pada 1959. Menurut ekonom Prof Dr Emil Salim masa tujuh tahun itu (1952-1959) menjadi masa yang berat untuk Pak Sim karena sebagai penasihat militer anjurannya tidak digubris sampai surat pensiun diterimanya.

Namun pada periode itu Pak Sim secara simultan mendalami ilmu perang, ideologi, dan teologi. Setelah pensiun pada 1959 dia aktif di Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI), Dewan Gereja-gereja se-Asia, hingga Dewan Gereja-gereja se-Dunia.

Ketika menjadi “orang sipil” inilah banyak lontaran pemikiran Pak Sim yang penting bagi bangsa ini, dan salah satunya adalah tulisannya “Pembangunan sebagai Pengamalan Pancasila” 31 tahun lalu. Pokok pemikirannya: pembangunan adalah kelanjutan dari sejarah perjuangan bangsa, pembangunan itu bukan sekadar modernisasi melainkan harus dijiwai oleh pengamalan lima sila dalam Pancasila.

Orang Berutang

Dalam otobiografinya, yang ditulis empat tahun sebelum meninggal dunia, 1 Januari 1990, Pak Sim menulis: "Segala sesuatu adalah milik kita, tetapi pada akhirnya semua yang kita miliki adalah milik Allah. Sehingga dalam cara kita memiliki segala sesuatu itu, kita membayar utang kita dengan melayani sesama kita dan dengan itu kita memuliakan nama Tuhan.”

Jasa dan pemikiran Pak Sim relevan untuk dimunculkan tak lain karena ada kegalauan bahwa 14 tahun reformasi terjadi kekosongan definisi, makna, dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, dan Pancasila mengarah hanya sebagai “dongeng sejarah”. Indikasinya adalah ketimpangan ekonomi yang parah, otonomi tanpa arah, fundamentalisme dan liberalisme menguat, hilangnya jati diri bangsa, yang kesemuanya mengarah pada krisis kebangsaan.

Momen ini baik untuk mengingatkan khususnya kepada banyak pemimpin politik hari ini yang lupa bahwa sesungguhnya mereka harus membayar utang kepada para pemilihnya dalam bentuk melayani mereka, dan bukannya malah mencuri. Jabatan dan posisi bukan kenikmatan, melainkan bekerja dan melayani, jadi sangat tidak patut kalau malah dipakai untuk korupsi.

Menurut Emil Salim, bila Pancasila diamalkan dengan baik, kita akan mampu bertahan sampai 100 tahun (yakni 2045) sebagai sebuah bangsa.

Namun kalau tidak, bangsa ini akan tinggal sejarah seperti Uni Soviet atau Yugoslavia. Untuk itu Bung Karno sudah mengingatkan ketika berpidato tahun 1958: A nation without faith cannot stand (sebuah bangsa tanpa kepercayaan takkan bertahan). Maka marilah melihat Pancasila harus utuh sebagai sebuah kesatuan dengan Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sebuah cita-cita, jangan hanya diambil sila per sila, sebab dia merupakan arah pembangunan bangsa ini.


KRISTANTO HARTADI. Dewan Redaksi Harian Sinar Harapan.

Sumber: Kolom Matahati, Jumat, 16 November 2012, http://SHNEWS.CO/MH.018

Sunday, November 18, 2012

Gelar Pahlawan Nasional Soeharto




Istilah Pahlawan dalam KBBI, adalah orang-orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau dapat dikatakan pejuang yang gagah berani.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada 2 Tokoh Proklamator bangsa, yaitu Soekarno dan Hatta yang baru-baru ini dilakukan, dinilai begitu sangat terlambat. Setelah 67 tahun bangsa ini merdeka, mengapa baru saat ini diberikan gelar Pahlawan Nasional kepada kedua founding father kita tersebut?

Terlepas dari keterlambatan itu, semua pihak menilai memang sudah selayaknya Soekarno dan Hatta mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Efek dari pemberian gelar bagi Soekarno-Hatta ini, tentunya memunculkan desakan bagi para pendukung Soeharto untuk juga diberikan gelar Pahlawan Nasional kepada presiden kedua kita. Ironinya, justru desakan agar Soeharto dijadikan pahlawan lebih keras terdengar daripada gelar pahlawan untuk Soekarno-Hatta. Hal ini mungkin bisa dipahami, mengingat elite-elite politik saat ini banyak yang merupakan anak buah dari Soeharto yang dulu mendapat jabatan dan posisi yang enak. Mereka akan berfikir, Soekarno-Hatta kini sudah menjadi Pahlawan Nasional, sehingga tidak ada alasan untuk tidak memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

Beberapa pihak yang dinilai mendukung pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, yaitu seperti Golkar dan Gerindra. Alasannya adalah Soeharto banyak berjasa dalam membangun Indonesia. Oleh karena jasanya itu, maka Soeharto dijuluki Bapak Pembangunan. Selain sebagai presiden ke-2, beliau merupakan presiden yang program-program pembangunannya sangat jelas dan terencana. “Pembangunan ekonomi Indonesia terjadi di zaman Pak Harto. Peninggalannya pun banyak dan masih dilanjutkan oleh pemerintah. Bahkan ada yang masih dinikmati oleh masyarakat hingga kini,” tutur Tantowi Yahya. Setiap pemimpin memiliki kekurangan dan kelebihan, namun pada dasarnya selalu ingin berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara, sehingga perlu diapresiasi.

Namun, sebagai pihak yang tidak mendukung, berpendapat bahwa Soeharto tidak layak diberikan gelar sebagai Pahlawan Nasional. Alasannya adalah; Soeharto menggunakan intimidasi dan kekerasan untuk melanggengkan kekuasaannya, banyak pelanggaran HAM yang dilakukan di zaman Orde Baru dan masih belum terungkap serta tidak ada penyelesaian hukumnya. Sehingga, “tidak bisa hanya karena Soeharto membangun gedung dan jembatan lalu digelari pahlawan,” terang Ray Rangkuti.

LBH Semarang mengirimkan surat kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa, Jenderal (Purn) Djoko Suyanto, yang berisi penolakan rencana pemerintah yang akan memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto tersebut. Alasannya yaitu berdasarkan fakta-fakta di lapangan, seperti: laporan Kantor PBB urusan obat-obatan dan kriminal (UN Office on Drugs and Crime/UNODC) bersama Bank Dunia yang telah mengeluarkan laporan Stolen Asset Recovery (StAR) pada tahun 2005. Dalam laporan disebutkan bahwa Soeharto berada pada peringkat pertama sebagai (Mantan) Presiden terkorup di abad 20 yaitu sebesar US$ 15-35 miliar. Jumlah hasil korupsinya ini di atas Ferdinand E. Marcos (Filipina) US$ 5-10 miliar, dan Mobutu Sese Seko (Kongo) US$ 5 miliar.

Selain itu, Soeharto terlibat dalam kasus pembantaian massal 1965–1970 di mana jumlah korban mencapai 1.500.000 korban meninggal dan hilang. "Mereka kebanyakan adalah anggota PKI, atau ormas yang dianggap berafiliasi dengan PKI seperti SOBSI, BTI, Gerwani, Lekra dan lain-lain,". Mereka dihukum tanpa melalui proses hukum yang sah. Rakhma menilai Soeharto tidaklah layak untuk mendapat gelar pahlawan nasional, karena menurut UU No.20/2009 tentang Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa, pasal 25 mengenai syarat umum memperoleh Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa yaitu diantaranya butir: (b) Memiliki integritas moral dan keteladanan; dan (d) berkelakuan baik. Selain itu berdasar Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor XI tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas korupsi kolusi dan nepotisme yang isinya mengamanatkan penuntasan dugaan KKN Mantan Presiden Soeharto.

Namun, di sisi lain Golkar juga melihat Indonesia sebagai bangsa besar perlu melakukan rekonsiliasi dengan masa lalu. "Kita perlu berdamai dengan sejarah,"ucap Hajriyanto Tohari (Ketua DPP Partai Golkar). Nilai-nilai Pancasila mengajarkan agar bangsa Indonesia tidak memiliki sifat pendendam. Hajriyanto percaya semangat berdamai dengan masa lalu, akan menjadi modal besar bangsa ini untuk maju.

Terlepas dari semua pihak yang menyatakan dirinya sebagai pro-kontra atau bahkan netral terhadap pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, mari kita lihat dan ambil sisi positifnya saja. Kiranya sebagai generasi muda penerus bangsa, kita contoh hal-hal positif dari sosok seorang Soeharto dalam pengabdian dan kecintaannya terhadap bangsa ini.

Apa tanggapan saudara? Apakah setuju atau tidak pemberian gelar kepada Soeharto?


Penulis: Alfonsius Siringoringo

Wednesday, November 14, 2012

Pencapaian Pemuda Indonesia

sumber: Institut Leimena


Dalam berbagai kesempatan, saya sering bertanya kepada mahasiswa: “Apa kamu bangga menjadi orang Indonesia?” Umumnya mereka menjawab: “Pastinya saya bangga!” Alasan mereka beragam. Ada yang bangga karena keindahan bumi Nusantara, kekayaan alam, keragaman budaya, sampai dengan tokoh-tokoh terkenal yang sering muncul di buku sejarah dan media.

Namun rasa bangga tersebut segera sirna, ketika kami berdialog bahwa semua yang mereka banggakan itu adalah semu.

Keindahan dan kekayaan alam adalah mutlak pemberian Sang Pencipta. Bukan bangga, namun sejatinya rasa bersyukurlah yang kita rasakan. Namun keindahan dan kekayaan alam tidak juga mendatangkan kemakmuran. Hampir tujuh dekade merdeka, toh kita tetap berkutat dengan kemiskinan.

Keragaman suku dan budaya terus-menerus ternoda oleh aksi kekerasan yang justru menyangkal realita akan kebhinekaan kita sebagai bangsa. Meski aksi ini dilakukan oleh sebagian kecil orang, namun karena terus dipupuk dan terjadi, maka rasa bangga berganti dengan rasa cemas dan prihatin.

Tokoh-tokoh legendaris dalam sejarah kita ternyata “mati satu, tidak tumbuh seribu”. Generasi penerus tidak, atau belum, sekaliber mereka, sehingga kebanggaan akan mereka menjadi romantisme masa lalu. Sama halnya dengan membanggakan candi Borobudur, suatu peninggalan kejayaan masa lalu belaka.

Rasa frustasi segera berkecamuk seketika saya meminta mereka menunjukkan berita di media yang berupa kabar baik, yang bisa membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia.

Ketika saya mengingatkan mereka akan Sumpah Pemuda, reaksi spontan mereka adalah memberikan tatapan seolah berkata: “Itu kan juga masa lalu”.

Daya Dobrak Sumpah

Setiap tahun kita memperingati Sumpah Pemuda sebagai suatu tonggak sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Namun seiring perubahan zaman, peringatan tersebut cenderung sambil lalu dan mengkerdilkan daya dobrak sumpah untuk lahirnya suatu bangsa yang besar.

Butir pertama, “bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia”, secara formal yuridis terwujud saat Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan. Bentang Sabang sampai Merauke setara dengan Los Angeles-New York di Amerika, dan London-Ankara di Eropa. Nusantara tidak saja berada di silang benua dan samudera, namun juga silang budaya, ideologi, dan geopolitik. Logikanya, mustahil Nusantara bisa menjadi suatu negara. Namun “atas berkat rahmat Allah”, Indonesia merdeka dan bersatu menjadi satu negara kesatuan.

Kemajemukan di Nusantara sungguh keterlaluan. Secara antropologi, orang-orang di Nusantara terdiri dari ratusan bangsa dan ras. Secara linguistik, mereka memiliki ratusan ragam bahasa. Secara ekonomi, mereka adalah petani, pelaut, pedagang, dan buruh. Mayoritas memeluk Islam, tapi budaya yang dominan mengacu ke India. Namun semenjak 1928 para pemuda berikrar untuk “berbangsa yang satu, bangsa Indonesia”. Seketika itu juga bangsa-bangsa menjadi suku-suku bangsa. Mayoritas dan minoritas hanya dari segi kuantitas, tidak dalam kualitas berpartisipasi sebagai satu bangsa.

Butir ketiga, “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, penuh dengan ironi. Seandainya bahasa Jawa, yang notabene adalah suku terbesar, menjadi dasar bagi bahasa Indonesia, maka hal tersebut adalah wajar. Namun bahasa dari suku minoritas, Melayu Pasar, yang justru disepakati oleh para pemuda sebagai bahasa dasar untuk pengembangan bahasa Indonesia.

Mengingat keragaman suku bangsa, adalah wajar jika bahasa resmi suatu negara terdiri lebih dari satu. Biasanya bahasa suku-suku mayoritas akan menjadi bahasa resmi, seperti halnya bahasa Mandarin menjadi bahasa resmi di Cina. Supaya tidak timbul masalah, bahasa mantan penjajah ditahbiskan menjadi bahasa resmi juga. Demikian yang terjadi di Singapura dengan empat bahasa resmi: Melayu, Inggris, Mandarin, dan Tamil. India menjadikan bahasa Hindi dan Inggris sebagai bahasa resmi, namun mereka tidak memiliki bahasa nasional..

Tapi bangsa Indonesia bisa manunggal dalam satu bahasa resmi dan bahasa nasional. Tidak ada negara-bangsa lain yang mampu menyatukan suku-suku bangsanya dan berkomunikasi hanya dalam satu bahasa. Berkomunikasi adalah kunci menjaga persatuan. Suku-suku mayoritas tidak hanya telah menunjukkan jiwa besar dalam membiarkan bahasa Melayu menjadi dasar bahasa Indonesia, namun juga tekad untuk menjadi satu untuk mencapai masa depan yang lebih baik sebagai satu bangsa.

Pencapaian Luar Biasa

Apakah ada bangsa lain di dunia yang mampu menyatukan pencapaian pemuda Indonesia? Belum pernah ada dalam sejarah sekelompok manusia yang terdiri dari ratusan suku bangsa, yang mendiami wilayah seluas Nusantara, yang memiliki ratusan ragam bahasa, kemudian menjelma menjadi bangsa yang satu, bertanah-air satu, dan berbahasa satu. Bangsa Romawi dan Yunani di masa lalu dalam puncak kejayaannya, tidak mencapai kesatuan bangsa-wilayah-bahasa. Tidak juga Amerika Serikat dan Cina di zaman modern ini. Hanya bangsa Indonesia yang mampu meraih pencapaian ini.

Sumpah Pemuda adalah suatu pencapaian luar biasa dalam sejarah umat manusia. Suatu pencapaian yang selalu bisa kita banggakan, sekaligus menjadi pengingat bahwa cita-cita adalah suatu keniscayaan. Tidak ada nama tokoh yang menonjol dari Kongres Pemuda II selain “Pemuda”. Label yang selalu ada sepanjang zaman saat sekelompok manusia mencapai usia tertentu. Lord Beaconsfield pernah berkata: “Almost everything that is great has been done by youth.”

Generasi muda harus sadar bahwa pemuda Indonesia mampu menorehkan sejarah monumental. Untuk itu mereka perlu kebanggaan dan kepercayaan diri untuk berkiprah. Jangan menanti kiprah si Budi atau si Badu, sebab setiap mereka adalah pemuda. Masa depan tidak penuh dengan keterpurukan masa kini. Masa depan yang lebih baik bukanlah utopia, tapi suatu keniscayaan. Masa depan memang milik anak-cucu, tapi tekad pemudalah yang membentuknya. Selamat berbangga atas karya pemuda Indonesia!


YU UN OPPUSUNGGU. Bidang Studi Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

Monday, November 12, 2012

MENEBAR SEMANGAT PAHLAWAN


Istilah Pahlawan yang kita kenal dahulu dan saat ini tentulah berbeda. Pahlawan yang kita kenal dahulu ialah mereka yang berjuang dan bertempur di medan perang demi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia, seperti Bung Tomo, dll. Namun saat ini, istilah Pahlawan sebenarnya adalah orang-orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau dapat dikatakan pejuang yang gagah berani.

Memang di masa ini sudah berakhir masa penjajahan fisik seperti zaman dulu. Tidak ada lagi peperangan maupun pertumpahan darah dalam membela dan mempertahankan negara ini. Namun, harus diketahui bahwa sebenarnya kita masih dijajah, baik oleh pihak asing yang menguasai aset-aset bangsa maupun oleh pemerintah/penguasa kita sendiri. Kedaulatan berada di tangan rakyat, sepertinya tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Dimana masih banyaknya ketidakadilan yang terjadi, ketimpangan sosial yang cukup tinggi serta bobroknya integritas para pemimpin dan pejabat kita.

Ini bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang harus kita persalahkan. Yang paling penting dari semua masalah ini adalah, bagaimana kita sebagai pemuda-pemudi generasi penerus bangsa ini menyikapinya, serta berbuat sesuatu demi kemajuan bangsa kita tercinta.

Dengan belajar dari semangat para pahlawan terdahulu, peluang anak-anak bangsa untuk terjun dalam pentas global di berbagai bidang (sains, teknologi, olahraga, seni-budaya, dll) sangatlah besar. Kita tidak perlu lagi untuk berperang dan mengangkat senjata agar dapat disebut sebagai pahlawan. Tetapi dengan berprestasi dan mengharumkan nama bangsa ini, kita telah disebut sebagai pahlawan-pahlawan muda.

Para pahlawan kita pun tidak begitu ingin untuk dipuja-puja karena jasa dan pengorbanan yang telah mereka lakukan, tetapi kita juga harus memperhatikan dan menghormatinya, bukan mengabaikan mereka begitu saja. Namun, para pahlawan begitu ingin memberikan pesan moral melalui semangat dan pengorbanannya kepada generasi muda untuk meneruskan perjuangan di segala bidang yang ada melalui kemampuan dan keahlian yang kita miliki. Apakah kita mau dan siap menjadi pahlawan-pahlawan muda selanjutnya?


GMKI Komisariat Unpad