Monday, January 25, 2016

Menulis Untuk Indonesia edisi bulan Januari



Mendorong Hukum dan Kekuasaan Mengatasi Ketimpangan
Penulis : Ericko Sinuhaji S.H.

Indonesia menapaki tahun 2016 dengan segala tantangan dan peluang di depan mata. Tahun baru ini kita telah masuk era Masyarakat Ekonomi Asean, yang artinya arus barang dan jasa telah diliberalisasi (secara bertahap) di kawasan ini. Bagi yang dapat memanfaatkannya, tentu akan membuka jalan menuju kesejahteraan yang lebih baik lagi. Namun di sisi lain, kita harus waspada terhadap kemungkinan semakin menjulangnya ketimpangan di Indonesia karena momentum ini.
Ya, bukan rahasia lagi bahwa ketimpangan di Indonesia saat ini sudah dalam kondisi mengkhawatirkan. Data tahun 2012 menyatakan indeks koefisien Gini (indikator pengukur kesenjangan pendapatan) Indonesia telah mencapai angka 0,41, naik tajam dari data tahun 1999 sebesar 0,32. Dalam pengukuran kesenjangan, angka diatas 0,4 termasuk dalam kategori buruk. Kecenderungan ketimpangan yang memarah ini ironis mengingat di saat bersamaan (2009-2013), pertumbuhan kita mencapai rata-rata 5,9%, suatu nilai di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia. 
Hukum dan kekuasaan haruslah bertindak mengatasi ketimpangan. Jika hukum dan kekuasaan tidak berbuat apa-apa, maka struktur ketidakadilan di masyarakat kita—salah satunya kesenjangan yang besar—akan terus bertahan. Akibatnya, manfaat terbaik laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kita akan dinikmati kalangan menengah-atas terus menerus. Kecenderungan ini tentunya bertentangan dengan niat mula-mula dibentuknya pemerintahan di republik ini yang ingin mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lantas, bagaimana cara hukum dan kekuasaan mengatasi masalah ketimpangan?
Caranya yaitu dengan fokus terhadap dua sektor paling krusial dalam penguasaan kekayaan. Kesenjangan sejatinya bicara soal jauhnya rentang penguasaan kekayaan di pihak tertinggi dengan yang terendah. Sebagai contoh, di saat ada orang yang mampu membeli aset berharga miliaran rupiah, ada yang bahkan kesulitan membiayai hidup sehari-hari. Dan mempertegas bahasan ini, kita bisa lihat dua sektor krusial yang sangat timpang dikuasai: uang dan tanah.
Tanah dan uang merupakan hal dasar dalam upaya menghasilkan kesejahteraan. Dan itu sebabnya penting mencermati jurang perbedaan di sektor ini. Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengungkapkan bahwa sebesar 80% tanah di Indonesia dikuasai hanya oleh kurang dari 2% penduduk. Itu artinya 20% sisanya diperebutkan oleh 98% penduduk. Lalu mari kita sandingkan ini dengan data penguasaan uang di Indonesia.
Pihak perbankan menyatakan, simpanan senilai 100 juta atau kurang sangat dominan, mencapai 97,78 persen rekening. Jumlah rekening dengan nominal Rp 100 juta sampai Rp 300 juta atau kurang hanya 1,01 persen. Selebihnya hanya “nol koma” dan yang di atas Rp 5 miliar hanya 0,04 persen. Begitu juga dengan inklusi keuangan Indonesia relatif sangat rendah yaitu 36,1%. Artinya hanya 36,1% penduduk yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan.  Sisanya tidak dimudahkan untuk mengakses uang atau bisa kita bilang kesulitan mendapatkan uang.
Melihat data-data itu, menjadi wajar mengapa jurang miskin dan kaya sangat nyata di Indonesia. Dan harus ada upaya perubahan agar tanah dan uang yang merupakan instrumen yang seharusnya untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan tidak dieksploitasi oleh segelintir pihak bergeser menjadi alat penimbun kekayaan semata untuk menguasai perekonomian. Berikut uraian singkat yang barangkali bisa dilakukan.
Dalam sektor pertanahan, sudah saatnya pemerintah secara serius merombak struktur penguasaan lahan yang terkonsentrasi di beberapa kelompok saja. Pemerintah harus memiliki target dan capaian untuk perombakan ini. Regulasi mengenai pembatasan pengelolaan lahan harus diawasi dan ditegakkan lebih ketat agar tidak ada lagi pihak-pihak yang mengambil untung karena memiliki keunggulan kapital sehingga bisa berspekulasi memiliki banyak lahan menyebabkan tingginya harga tanah. Begitu juga dengan lahan-lahan yang terabaikan atau tidak mampu dikelola dengan baik oleh pemerintah maupun swasta, segera ditata dan dialihkan ke masyarakat yang membutuhkan. Hal ini dilakukan agar sekaligus merombak struktur penguasaan yang timpang dan membuat lahan menjadi produktif karena diberdayakan masyarakat.
Dan serangkaian pola kebijakan yang harus dilakukan itu haruslah didorong dengan memperjelas dan menyinkronkan kewenangan antar badan pemerintah untuk dapat mengeksekusi tindakan-tindakan tersebut. Selama ini sering sekali timbul kemandekan operasionalisasi kebijakan pemerintah karena ketiadaan regulasi dan kesamaan pemahaman untuk mengatasi masalah struktur penguasaan tanah yang timpang ini. Sebagai contoh, antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dan pemerintah daerah harus diberikan ruang yang jelas bagian-bagian yang mereka dapat lakukan. 
Dalam sektor keuangan, harus diberikan keberpihakan dan akses bagi program-program finansial untuk masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Dana murah harus menjadi prioritas untuk disediakan oleh lembaga-lembaga keuangan. Namun ini bukan lagi dana-dana “murah” yang nyatanya punya beban bunga lebih besar dari yang didapat warga menengah-atas biasanya. Permasalahan akan harus adanya jaminan untuk penyediaan dana harus diterobos regulasi sembari juga mengarahkan penggunaan dana murah ini untuk hal-hal yang bersifat produktif. 

Sementara itu, tren pemerintah sekarang yang memberikan besaran alokasi anggaran negara lebih ke daerah juga merupakan hal positif dan perlu terus didorong karena membuka peluang redistribusi uang yang selama ini dominan ke Jakarta menjadi lebih menyeluruh. Namun, harus ada pengawasan serius dan penegakan hukum yang tegas agar yang menikmati hasil uang itu adalah masyarakat banyak, bukan lagi-lagi segelintir orang.
Dan untuk memperkuat kebijakan tersebut, harus didorong juga dengan penguatan institusi-institusi keuangan mikro. Setiap pemerintah daerah harus mulai peduli dengan pemberdayaan lembaga keuangan mikro di daerahnya sehingga menguatkan inklusi keuangan. Agar akses terhadap uang dan lembaga keuangan menjadi lebih terjangkau pada masyarakat kelas bawah. Selain itu, tak lupa pembentukan kembali regulasi mengenai koperasi harus dilakukan mengingat fundamen utama perekonomian kita adalah filosofi kekeluargaan. Filosofi ini justru penting diimplementasikan sekaligus untuk mengatasi pola ketimpangan karena koperasi menganut prinsip kesejahteraan seluruh anggota.
Dua fokus utama itu penting untuk terus dicermati agar setidaknya masalah ketimpangan di Indonesia bisa semakin teratasi. Tentu kita tidak menutup mata terhadap berbagai isu lain yang lekat dengan masalah ketimpangan, seperti kemiskinan, namun tidak dibahas dalam kajian kali ini. Dengan mencoba mengatasi masalah ketimpangan, kita akan menghindarkan negeri ini dari potensi konflik besar yang bisa mengancam dan menghancurkan keutuhan negeri tercinta ini karena bisa saja terjadi perang dan kerusuhan akibat perebutan kekayaan dan sumber daya. Dan itu semua bisa terhindar, jika hukum dan kekuasaan mau bergerak merombak struktur-struktur ketidakadilan dan ketimpangan yang nyata ada di tengah-tengah masyarakat sembari terus menyediakan ruang bagi kemajuan dan pertumbuhan ekonomi. Semuanya demi mimpi mewujudkan Indonesia yang berkeadilan, damai, dan sejahtera di masa mendatang.

Karya : Ericko Sinuhaji S.H, alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang sekarang aktif sebagai volunteer di Lembaga Bantuan Hukum Bandung. Dapat dihubungi di email: lelatumerah@gmail.com

No comments:

Post a Comment